Macam - Macam Hak Suami Atas Istri Nusyuz



Hak atau wewenang adalah izin atau kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada seseorang untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Menurut L. J. Van Apeldoorn sebagaimana yang dikutip oleh C.S.T. Kansil mendefinisikan hak ialah hukum yang dihubungkan dengan seseorang manusia atau subyek hukum tertentu dan dengan demikian menjelma menjadi sesuatu kekuasaan.[1]

Dalam ilmu hukum hak dibedakan menjadi dua, hak mutlak (absolut) dan hak nisbi (relatif). Hak mulak ialah hak yang memberikan kewenangan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum, dan hak tersebut dapat dipertahankan terhadap siapa pun juga. Seperti hak marital, hak suami untuk menguasai isterinya dan harta bendanya. Sedangkan hak nisbi atau relatif  ialah hak yang memberikan wewenang  kepada seseorang atau beberapa orang untuk menuntut agar supaya seseorang atau beberapa orang yang lain tertentu untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.[2]

Berdasarkan telaah yang telah dilakukan peneliti berkaitan dengan persoalan nusyuz secara umum, maka terdapat minimal tiga hak atau kewenangan yang dimiliki suami, dan selama ini dianggap sebagai hak bersifat mutlak (absolut) karena adanya beberapa alasan yang mendukungnya. Hal ini tentu saja berakar dari pemahaman dan penafsiran atas ayat an-Nisa’ (4): 34 secara keseluruhan terutama menyangkut konsep kedudukan dan relasi suami isteri dalam rumah tangga.

Hampir secara keseluruhan ulama sepakat bahwa laki-laki (baca: suami) adalah pemimpin bagi perempuan (baca: isteri) dengan dua alasan. Pertama, karena kelebihan laki-laki atas perempuan. Dan kedua, karena  nafkah yang mereka keluarkan untuk keperluan isteri dan rumah tangga lainnya. Sekalipun ulama sepakat dengan kelebihan laki-laki atas perempuan, tetapi dalam menjelaskan faktor-faktor sebagai penyebab nilai lebih laki-laki atas perempuan tersebut terdapat perbedaan.

Dalam menafsirkan Ayat tersebut, Az-Zamakhsyari dalam Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq At-Tanzil wa ‘Uyun Al-Aqawil menyatakan bahwa suami adalah pemimpin terhadap isterinya dalam rumah tangga. Kalimat kunci yang menjadi  landasan adalah   الرّجـال قوّامون على النساء. Oleh Az-Zamakhsyari,  kalimat  tersebut  ditafsirkan  dengan  يقـومـون عليهن آمرين ناهين كما يقوم الولاة على الرعايا (kaum laki-laki berfungsi sebagai yang memerintah dan melarang kaum perempuan sebagaimana pemimpin berfungsi terhadap rakyatnya). Dengan fungsi itulah laki-laki dinamakan qawwam. Alasan mengapa suamilah yang menjadi pemimpin rumah tangga, Al-Zamakhsyari menafsirkan Ayat:[3]

بما فضّل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم

Oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka dan memberikan mahar.

Adapun dua alasan kenapa laki-laki yang memimpin perempuan dalam rumah tangga adalah:

Pertama, karena kelebihan laki-laki atas perempuan. Kata ganti hum pada kalimat بمافضّل الله بعضهم على بعض  menurut Az-Zamakhsyari berlaku untuk kedua-duanya, laki-laki dan perempuan.

Kedua, adalah karena laki-laki berkewajiban membayar mahar dan mengeluarkan nafkah keluarga.[4]

Sebagai konsekuensi dari penafsiran bahwa laki-laki adalah pemimpin perempuan dengan dua alasan seperti yang telah diuraikan di atas, Az-Zamakhsyari menafsirkan bahwa perempuan-perempuan yang saleh (fa assalihat), dalam lanjutan Ayat ini adalah perempuan-perempuan yang ta’at (qanitat) melaksanakan kewajibannya pada suami, dan menjaga kehormatan diri serta menjaga rumah tangga dan harta benda milik suami, tatkala para suami tidak berada di tempat (hafizat li al-ghaib), termasuk juga menjaga rahasia suami.[5]

Dengan menyebutkan hadits riwAyat Ibn Jarir dan Baihaqi dari Abu Hurairah r.a., dia berkata. Rasulullah SAW bersabda:

خيرالنساء امرأة إذا نظرت اليها سرّتك وإن امرتها أطاعتك وإن غبت عنها حفظتك فى نفسها ومالك

“Sebaik-baik isteri adalah perempuan yang apabila engkau memandangnya menggembirakanmu, apabila engkau memerintahnya dia patuh padamu, dan apabila engkau tidak ada di sisinya dia akan menjaga dirinya dan harta bendamu.”

Kata Abu Hurairah: Kemudian Rasulullah  SAW.  membaca:

الرجال قوامون على النساء[6]

Begitu pula pendapat at-T{abari dalam menafsirkan الرجال قوامون على النساء ia menjelaskan dalam kitab tafsirnya bahwa alasan tentang kepemimpinan laki-laki atas perempuan itu didasarkan atas refleksi pendidikannya serta kewajibannya untuk memenuhi seluruh kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah. Hal ini pula yang tercermin dalam kalimat وبما أنفقوا من أموالهم  yang ditafsirkan sebagai kewajiban untuk membayar mahar, nafkah dan kifayah.[7]

Lebuh lanjut ia menjelaskan tentang keutamaan laki-laki dapat juga ditinjau dari sudut kekuatan akal serta kekuatan fisiknya, sehingga kenabian pun menjadi hak bagi kaum laki-laki. Dengan dasar kekuatan akal dan fisik inilah, maka at-T{abari menyatakan dengan tegas bahwa kepemimpinan dalam bentuk al-Imam al-Kubra (khalifah) dan al-Imam as-Sughra seperti imam salat, kewajiban jihad, azan, iktikaf, saksi, hudud, qisas, perwalian dalam nikah, talak, rujuk dan batasan jumlah isteri, semuanya didasarkan kepada laki-laki.[8]

Ar-Razi juga memiliki pendapat yang tidak jauh berbeda dengan at-T{abari mengenai masalah kepemimpinan laki-laki atas perempuan, menurutnya hal itu dikarenakan adanya keutamaan dalam diri laki-laki sebagaimana firman Allah, بما فضل الله بعضهم على بعض ia mengatakan bahwa keutamaan laki-laki itu berdasarkan dua aspek; hakiki dan syar’i. Secara hakiki laki-laki memiliki kelebihan dalam hal akal dan ilmu. Dalam segi syar’i laki-laki memiliki kontribusi dan peran optimal dalam segala hal yang berkaitan dengan ibadah tanpa ada halangan apa pun.[9]

Sedangkan menurut Muhammad Abduh pengertian kepemimpinan laki-laki dalam surat an-Nisa’ (4): 34 itu adalah memiliki arti menjaga, melindungi, menguasai dan mencukupi kebutuhan perempuan. Sebagai konsekwensi dari kepemimpinan itu adalah laki-laki mendapatkan bagian lebih banyak daripada perempuan dalam hal kewarisan, karena laki-laki bertanggung jawab terhadap nafkah mereka. Adapun perbedaan taklif dan hukum antara laki-laki dan perempuan menurutnya adalah akibat dari perbedaan fitrah dan kesiapan individu (potensi), juga sebab lain yang sifatnya kasabi, yaitu memberi mahar dan nafkah. Jadi sudah sewajarnya apabila laki-laki (suami) yang memimpin perempuan (isteri) demi tujuan kebaikan dan kemaslahatan bersama.[10]

Melengkapi penjelasan Muhammad Abduh, Rasyid Ridha menjelaskan bahwa termasuk dalam kategori kepemimpinan adalah akad nikah yang berada pada kekuasaan laki-laki dan laki-lakilah yang berhak menjatuhkan talak. Sementara itu menurut dia, alasan yang dikemukakan oleh para mufassir tentang kelebihan laki-laki terhadap perempuan, seperti menjadi nabi, imam, mu’azin, khatib jum’at dan sebagainya bukanlah yang dimaksud oleh Ayat ini.[11]

Berangkat dari akar pemikiran tentang konsep kepemimpinan laki-laki atas perempuan seperti di atas, selanjutnya hal ini berimplikasi dalam memahami persoalan nusyuz. Az-Zamakhsyari berpendapat. oleh karena isteri mempunyai kewajiban untuk patuh kepada suami sebagai pemimpin rumah tangga, sebagaimana telah disebutkan di atas, maka apabila isteri nusyuz (tidak menjalankan kewajiban sebagai isteri, tidak patuh atau melawan kepada suaminya), suami berhak bertindak dalam tiga tahapan: (1) menasehatinya (fa ‘izuhunna); (2) pisah ranjang (wahjuruhunna fi al-madaji’i); (3) memukulnya (wadribuhunna).

Seperti halnya Az-Zamakhsyari, al-Alusi juga berpendapat sama, kewenangan suami untuk memperlakukan isteri yang nusyuz merupakan konsekuensi dari penafsiran bahwa laki-laki adalah pemimpin perempuan. Kedua mufassir ini sepakat bahwa perempuan-perempuan yang saleh (fa as-salihat), dalam lanjutan Ayat tersebut adalah perempuan-prempuan yang taat (qanitat) melaksanakan kewajibannya pada suami, dan menjaga kehormatan diri serta menjaga rumah tangga dan harta benda milik suami, tatkala para suami tidak berada di tempat (hafizat li al-ghaib), termasuk juga menjaga rahasia suami. Tetapi ada perbedaan sedikit antara 'Al-Alusi dengan mufassir lainnya dalam menafsirkan  kata qanitat. Bagi Al-'Alusi, kata tersebut berarti perempuan-perempuan yang patuh kepada Allah dan suami-suami mereka. Sedangkan Az-Zamakhsyari dan Sa’id Hawa menafsirkan qanitat adalah perempuan-perempuan yang patuh pada suaminya, sebagaimana disebut di atas tanpa menyebutkan terlebih dahulu patuh kepada Allah.[12]

Begitu pula menurut keempat mufassir yang lain yaitu at-T{abari, ar-Razi, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Pendapat keempat mufassir tersebut bisa dikatakan hampir sama dengan pendapat az-Zamakhsyari maupun al-Alusi seperti di atas, dalam menyikapi isteri yang nusyuz karena laki-laki menempati posisi sebagai kepala rumah tangga maka ia diberikan kewenangan atau hak dalam mendidik atau juga dapat dikatakan sekaligus untuk menindak isteri mereka yang nusyuz tersebut dengan melakukan tiga tahap cara yang telah dijelaskan al-Qur’an; menasihati, memisahi ranjang dan memukul. Ketiga tahap tersebut harus dilakukan suami secara bijak dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi isteri.

Demikianlah akar pemikiran tentang kepemimpinan dalam rumah tangga yang sekaligus berimplikasi terhadap kewenangan suami dalam memperlakukan isteri yang nusyuz dengan berangkat dari penafsiran terhadap surat an-Nisa’ (4); 34. Dalam hal kewenangan ‘mengasingkan’ isteri (hijr), memukul, mencegah hak nafkahnya dan menjatuhi talak semua itu merupakan konsekuensi logis dari pemahaman mereka bahwa suami adalah  pemimpin rumah tangga, dan ini mendapat sorotan dari kalangan feminis Muslim.[13]

 Dan mengenai hak-hak yang dimiliki suami tersebut akan diperinci dan sekaligus akan dikemukakan batasan-batasannya menuru perspektif hukum sebagai berikut:

1.  Hak Persuasif dan Sanksi Fisik

Dengan merujuk dalam al-Qur’an pada surat an-Nisa’ (4): 34, seorang suami diberikan tiga hak yang merupakan bentuk dari kewenanganya dalam memperlakukan isterinya yang nusyuz. Yaitu: (1) menasihatinya, (2) memisahi tempat tidurnya (menghindari untuk berhubungan badan), (3) diperbolehkan memukulnya.

2.  Hak Mencegah Nafkah

Para ulama maz\hab sepakat bahwa isteri yang melakukan nusyuz tidak berhak atas nafkah, tetapi mereka berbeda pendapat tentang batasan nusyuz yang mengakibatkan gugurnya nafkah tersebut.[14] Demikian pula menurut Sayyid Sabiq, bahwa suami berhak menta'zir isterinya yang nusyuz, seperti dengan pencegahan nafkah disamping melakukan tindakan-tindakan yang telah ditentukan dalam al-Qur'an, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.[15]

Menurut Muhammad Ali Sabikh, apabila seorang isteri berlaku nusyuz yaitu isteri yang durhaka terhadap suami atau keluar rumah tanpa seizin suami dan tidak dapat dibenarkan secara syar’i maka:

a.       menggugurkan haknya untuk mendapatkan nafkah.

b.      Menggugurkan nafkahnya yang berupa kebendaan

c.       Gugur pula nafkah yang terhutang.[16]

Dengan berdasarkan atas kaidah fiqh alasan gugurnya kewajiban suami memberi nafkah tersebut dapat dianggap suatu yang logis karena kedurhakaan isteri kepada suaminya dalam rumah tangga itu harus dihilangkan, hal ini sesuai kaidah fiqh yang berbunyi;

الضرر الأشد يزال بالضرر الأخف[17]

Karena isteri meninggalkan kewajiban taat kepada suami, maka suami pun boleh meninggalkan kewajibannya memberi nafkah.[18]

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pencegahan nafkah bagi isteri yang nusyuz juga diakui, sebagaimana yang disebutkan disana bahwa kewajiban suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal (5): nafkah, kiswah, tempat kediaman bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan, semua itu akan menjadi gugur apabila isteri nusyuz.[19] Dan hak-hak tersebut dapat diperoleh isteri lagi jika ia tidak nusyuz lagi.[20]

3.  Hak Talak

Di dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa perkawinan dapat putus karena:[21]

a.       Kematian

b.      Perceraian; dan

c.       Atas keputusan pengadilan

Dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal selanjutnya bahwa untuk melakukan perceraian harus ada alasan, bahwa antara suami-isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-isteri.[22]

Suami-isteri yang sudah tidak dapat hidup rukun lagi karena terjadinya nusyuz oleh salah satu pihak atau kedua-duanya secara bersamaan (syiqaq) dan telah diupayakan sekuat tenaga untuk menyelesaikanya secara damai, baik oleh kedua belah pihak yang bersangkutan sendiri atau melalui pihak ketiga sebagai mediator, maka dalam kondisi seperti ini sudah tidak ada cara lain kecuali memutuskan hubungan tali perkawinan suami-isteri tersebut agar situasi tidak semakin parah dan dapat memicu terjadinya tindak kekerasan.[23]

Menurut pendapat prof. Mahmud Yunus bahwa sebab-sebab yang memperbolehkan menjatuhkan talak dengan tiada dibenci oleh Allah ialah:

a.       isteri berbuat zina

b.      isteri nusyuz setelah diberi nasihat dengan segala daya upaya

c.  isteri suka mabuk, penjudi atau melakukan kejahatan yang menggangu keamanan rumah tangga, dan lain-lain, sebab yang berat yang tidak memungkinkan berdirinya rumah tangga dengan damai dan teratur.[24]

[1] C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet. VIII (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 120.

[2] Ibid., hlm. 121.

[3] Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf an-Haqaiq At-Tanzil wa 'Uyun Al-Aqawil, (Taheran: Intisyarat Aftab, t.t.), I: 524.

[4] Ibid., hlm. 523-524.

[5] Ibid., hlm. 524.

[6] Ibid.

[7] At-T{abari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1415 H/1995 M.), IV: 81.

[8] Ibid., IV: 82.

[9] Fahruddin ar-Razi, Tafsir al-Kabir al-Misamma bi Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Fikr, 1415 H/1995 H.), IX: 92.

[10] Rasyid Ridha  dan  Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1393 H/1973 M.), V: 67.

[11] Ibid., V: 70.

[12] Lihat Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf..., I:524, Abi al-Fida' Syihab ad-Din Mahmud al-Alusi, Ruh Al-Ma'ani, (Bairut: Dar al-Fikr, t.t.), III: 24.

[13] Feminis adalah laki-laki maupun perempuan yang memiliki kesadaran akan ketidakadilan gender yang menimpa kaum perempuan baik dalam keluarga maupun masyarakat serta tindakan sadar mereka untuk mengubah keadaan tersebut. Sedangkan istilah feminis muslim merujuk pada mereka yang memliki konsern terhadap isu-isu gender dan keperempuanan dalam Islam, seperti Asghar Ali Engineer, Riffat Hassan, Amina Wadud Muhsin dan yang lain. (lihat Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an, Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 42-54. Sedangkan istilah fiminisme sendiri merujuk pada pengertian atau gagasan kaum fiminis sebagai tanggapan dari perasaan ketidakadilan oleh karena adanya supreoritas laki-laki dan penganugrahan hak-hak tertentu kepada mereka semata-mata karena mereka adalah pria dan menyembunyikan hak-hak dari kaum wanita semata-mata karena mereka wanita. (lihat Michael A. Riff, Kamus Ideologi Politik Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 62.

[14] Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqh Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B., dkk., cet. II, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 1996),  hlm. 402.

[15] As-Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, cet. II, (al-Qahirah: Fath al-I’lam al-‘Arabi, 1410 H/1990 M.), III: 229.

[16] Muhammad Ali S{abikh wa Awladuhu, Al-Ahkam Syari’ah fi Ahwal Asy-Syahsiyyah, (ttp., 1965), hlm. 28.

[17] Asmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 82.

[18] Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh Wanita, alih bahasa Anshari Umar Sitanggal, (Semarang: C.V. Asy-Syifa', t.t.), hlm. 465.

[19] KHI, Pasal 80 Ayat (7).

[20] KHI, Pasal 84 Ayat (3).

[21] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 34.

[22] Ibid., Pasal 39 Ayat (2)

[23] Saleh bin Ganim, Nusyuz, hlm. 69.

[24] Muhammad Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, cet. X, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1983), hlm. 113.


 

Return to top of page Copyright © 2010 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by HackTutors