Bidadari sebagai Simbol konsep Jaza’ Amal Baik Manusia, Bukan Makhluk Fisik di Surga (Pemikiran M. Ali Al-Sabuni)



Bidadari sebagai Simbol konsep Jaza’ Amal Baik Manusia, Bukan Makhluk Fisik di Surga (Pemikiran M. Ali Al-Sabuni)

1.         Bidadari sebagai Simbol Balasan atas Amal Manusia

al-Sabuni menyatakan bahwa, pernyataan Allāh dalam Qs. Al-Rah}mān yang mengelompokkan paragraf ayat 1 sampai 45 dengan paragraf ayat 46 sampai 78, bahwa sebelum Allāh menjanjikan surga dengan segala isinya, terlebih dahulu Allāh menuturkan ihwal ahli neraka. Baru kemudian menjelaskan janji-Nya untuk kelompok orang beriman dalam bentuk taman, pelayan, dan bidadari yang cantik jelita, dengan maksud agar menjadi jelas perbedaan mencolok antara jalan penempuhan kaum mujrimin dengan tertib jalan kelompok muttaqīn.[1]

Itu berarti bahwa menurut al-Sabuni penggambaran bidadari, yang walaupun dalam spesifikasinya nampak seperti nyata-nyata fisik, akan tetapi dalam segi lain, bidadari juga menjadi simbol bagi balasan atas amal baik manusia. Bahkan di samping al-Qur`ān, Rasūlullāh sendiri dalam berbagai h}adīs}nya juga sering dan suka menggunakan bahasa-bahasa simbolis, baik untuk merangsang orang beramal s}ālih}, atau agar lebih mudah diterima dan dimengerti umat atau dengan motiv yang lain.[2]

Bahasa simbolis tersebut sangat penting untuk memberikan semangat kejuangan agama bagi umat, apalagi pada konteks masa Nabi. Tentunya memahami keadaan geografis dan historis masyarakat Arab-Islām era Nabi sangat penting untuk mengetahui sebagian motiv dibalik penggunaan simbol-simbol dalam bahasa al-Qur`ān. Al-Wahidi menyatakan, bahwa tidak mungkin seseorang bisa memahami tafsīr sebuah ayat tanpa berpijak pada konteks di saat ayat itu diturunkan.[3]

Saat masa-masa penyiaran dan perkembangan Islām, masyarakat Arab berada dalam kondisi geografis yang gersang, padang pasir luas, disertai dengan kewajiban berjuang menghadapi bahaya maut setiap saat. Kondisi-kondisi itu sangat mempengaruhi segi kejiwaan mereka. Saat-saat seperti itu, tentunya mereka memerlukan hal-hal yang dapat memunculkan motivasi psikis. Allāh serta Rasūlnya memenuhi itu dengan janji-janji surgawi yang serba indah dan nikmat, disertai janji adanya bidadari yang sudah menantikan kehadiran mereka di surga.[4]

Jika melihat karakter orang-orang yang menerima pembalasan surga beserta bidadarinya, sebagaimana diuraikan al-S{ābūnī di atas, nampak bahwa orang yang diberi balasan dengan simbolitas bidadari adalah orang yang dalam amal s}ālih} lahiriyahnya didasari dengan keikhlasan paripurna batinnya, serta selalu diiringi dengan selalu menghisab diri atas amal-amalnya.

Apa yang bisa dipahami dari penjelasan al-S{ābūnī tersebut menyerupai pendapat para ahli tafsīr kontemporer lain seperti misalnya Mirza Bas}īr al-Din Ahmad dan Abdullah Yusuf Ali.

Menurut Mirza Bas}īr al-Din Mahmūd Ahmad makna azwājun mut}ahharah dalam Qs. 2:25 bukanlah hanya sekedar mengacu pada bentuk pasangan fisik suami isteri sebagaimana selama ini difahami, akan tetapi maknanya lebih luas dari itu, diantaranya adalah pasangan bagi adanya surga adalah amal s}ālih}, sehingga bagi yang masuk surga harus disanding dengan pasangannya yakni amal s}ālih}. Dalam arti kata-kata itu merupakan simbol dari keserasian dan keharmonisan jiwa raga, lahir batin, habl min Allāh dan habl min al-nās, fungsi khalīfah Allāh dan ‘abīd Allāh dan sebagainya. Maka yang paling mengerti makna tersebut adalah hendaknya dikembalikan kepada Allāh.[5]

Apa yang dikemukakan oleh Bas}īr al-Din Mahmūd Ahmad sejalan dengan Abdullah Yusuf Ali yang memaknai bahwa janji-janji surgawi dalam ayat tersebut, merupakan simbol segala kebahagiaan, sebagaimana api sebagai simbol hukuman.

Dan apa pula yang akan lebih menyenangkan daripada sebuah kebun, yang kita lihat dari ketinggian dan tampak sebuah pemandangan yang begitu indah di sekitar kita, -sungai-sungai dengan air mengalir seperti kristal, dengan pohon buah-buahan yang terbaik terhampar di depan kita. Sama saja, buah kebaikan ialah kebaikan pula, tetapi yang lebih baik akan berada pada tingkatan yang lebih tinggi. Kita mengira itu sama, tetapi sebenarnya karena kenangan kita mengenai pengalaman dan masa lampau. Kemudian adanya pasangan-pasangan. Jika di sini ada kesan bernada seks, maka hubungan fisiknya sekaligus sudah dinafikan dengan hanya tambahan kata “mut}ahharah”, “bersih dan suci”. Sebutan bahasa Arab ini dalam bentuk intensif, dan harus diterjemahkan dengan dua kata sifat yang menunjukkan kebersihan dalam tingkat yang tertinggi. Pasangan ialah mengenai orang dan berlaku buat kedua jenis dalam arti fisik, laki-laki dan perempuan. Dan kebahagiaan itu tidak sekadar dalam waktu terbatas akan tetapi akan berada diluar kekuasaan waktu.”[6]
Jadi konsepsi itu bersifat menyeluruh, bukan semata mukmin lelaki mendapatkan pasangan bidadari, akan tetapi semua orang beriman akan mendapatkan pasangan masing-masing, yang menjadi sebab kebahagian abadi mereka. Hal ini semakin mempertegas bahwa makna bidadari yang dapat dipastikan kebenarannya adalah, bahwa itu merupakan simbol puncak bagi kenikmatan ahli surga, sebagai balasan perbuatannya sewaktu hidup di dunia. al-S{ābūnī lebih jauh menyatakan bahwa semua janji-janji akhirat adalah sebagai simbol pengingat atas cara al-Qur`ān dalam mengumpulkan al-tarĝīb dan al-tarhīb, untuk membandingkan antara keadaan orang-orang ahli kebajikan dengan ahli-ahli keburukan (al-fajīr).[7]

Wajar jika konsep bidadari sebagai simbol kenikmatan atas amalpun tidaklah menyeluruh, sebab bidadari hanya menduduki posisi sebagai nikmat tambahan kepada orang mukmin,[8] sehingga pada Qs. Al-Wāqi’ah:24 di akhir pembahasan mengenai kenikmatan-kenikmatan surga ditegaskan bahwa “semua itu Kami jadikan untuk mereka sebagai balasan atas amal-amal mereka ketika di dunia.”

Jadi jelaslah bahwa konsep bidadari dalam al-Qur`ān dengan segala kesempurnaannya digunakan oleh Allāh sebagai simbol atas buah kebajikan orang beriman di akhirat kelak.

2.         Maksud Penggunaan Simbol Bidadari bagi Manusia

Penggunaan simbol dalam al-Qur`ān, termasuk konsep h}ūrun ‘īn sebenarnya memiliki maksud yang cukup mendalam bagi umat Islām, baik maksud tata kebahasaan al-Qur`ān, maupun maksud praktis bagi pola keberagamaan dzahir maupun batin.

Dalam segi sastra, penggunaan simbol mengacu pada konsep sastra, tepatnya pemakaian pengertian lugas dan majas (maknawi)[9] dan segi kebahasaan adalah menyangkut kejelasan kata yang secara implikatif mempunyai pengaruh mendalam sekaligus muatan tema dan obyek dalam wacana kontekstual.[10] Dengan segi-segi itu, serta simbolisasi yang sempurna dalam semua perspektif, dapat menjadikan al-Qur`ān tidak tertandingi oleh bahkan semua makhluk sekalipun.[11]

Nampaknya penggunaan simbol h}ūrun ‘īn telah mencapai hal-hal tersebut, terutama dengan melihat penafsiran al-S{ābūnī di atas.

Menurut Abu M. Jamal Isma’īl, dimuatnya diskripai yang menampilkan keindahan dan sifat-sifat lain yang dikhususkan oleh Allāh kepada bidadari itu memiliki manfaat yang besar bagi kaum beriman, yaitu agar ilustrasi ini menimbulkan rasa “zuhud” untuk tidak memenuhi ajakan syahwat haram. Supaya lebih intens mengingat terus menerus akan surga dan apa yang diciptakan Allāh di dalamnya.[12] Dalam arti bahwa kenikmatan di dunia ini tidak ada apa-apanya dibanding kenikmatan akhirat, sementara jika mengejar nafsu kenikmatan dunia, yang hanya sedikit dan sebentar, justru akan kehilangan kesempatan menikmati kebahagiaan akhirat yang abadi. Menurut al-S{ābūnī penggunaan simbol-simbol bidadari dan sebagainya yang menggambarkan keindahan surgawi, demikian pula simbol-simbol yang sebaliknya tidak lain merupakan t}arīqat al-qur'ān fī al-targīb wa al-tarhīb.[13] Surga dengan segala janji kenikmatannya merupakan simbolitas kesempurnaan kebahagiaan yang diperoleh, yang dengan kenikmatan itu orang beriman berada dalam tempat yang nyaman, yang digambarkan berbahagia bersama pasangannya selamanya, tanpa sesuatupun yang menjadikannya renggang atau terpisah.[14]

Seluruh gambaran mengenai bentuk dan simbol surga atau neraka beserta pengelompokan manusia atas tempat-tempat itu untuk mengingatkan manusia akan peri keadaan kelompok asyqiyā’ dan su’adā’; meneguhkan pada hati hamba antara fakta al-rugbah dengan al-ruhbah, memunculkan faktor kekhawatiran dan harapan untuk mendapatkan surga dengan segala isinya.[15]

Hal ini kembali ditegaskan oleh al-S{ābūnī ketika memberikan tafsīrnya atas Qs. Al-Wāqi’ah:24, setelah ayat-ayat yang menjelaskan berbagai kenikmatan surgawi, utamanya kenikmatan diberinya bidadari, dengan menyatakan, “Kami jadikan bagi mereka yang demikian itu seluruhnya agar mereka menjadi orang-orang yang s}ālih} di dunia.”[16] Oleh al-S{ābūnī dinyatakan bahwa orang-orang s}ālih} bukan sekedar orang yang berkeimanan i’tiqādiyah disertai ‘amal s}ālih} semata, akan tetapi iman yang dimaksudkan adalah berkumpulnya ikhlās al-‘aqīdah dengan ikhlās al-‘amal.[17]

Jadi maksud utama pemberian gambaran bidadari sebagai simbol amal baik, tidak lain adalah agar orang beriman semakin disiplin dalam mematuhi hukum Allāh, tidak dikalahkan dengan kesenangan duniawi sesaat yang justru akan menghancurkan kebahagaian abadi di akhirat, sehingga orientasi dan tujuan hidupnya akan semakin jelas bagi orang beriman.

Kiat-kiat simbolis sebagaimana dinyatakan oleh al-S{ābūnī itu, dalam al-Qur`ān sangatlah banyak, yang diantaranya mengandung maksud utama untuk al-targīb wa al-tarhīb kepada hamba-hamba Allāh. Ini semakin nampak nyata misalnya dalam Qs. Al-Taubah:111 yang berisi janji Allāh kepada orang yang berjihad dengan mengorbankan jiwa serta hartanya, sehingga mendapatkan balasan surga, entah jihad berakhir dengan kekalahan atau dengan kemenangan.[18]

[1] Ibid., hlm. 281.

[2] Lihat misalnya dalam al-Zarqani. Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur`ān, (Beirut-Lebanon: Dār al-Fikr, 1988), jl. I, hlm. 309-310.

[3] Lihat al-S}uyut}ī. al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur`ān, cet. III, (Beirut: Dār al-Fikr, 1370/1951), hlm. 28; al-Zarqani. Manāhil al-‘Irfān, jl. I, hlm. 109; juga Manā’ Khalīl al-Qaţān, Mabāhis fī ‘Ulūm al-Qur`ān, (Beirut: Dār al-Fikr, cet. III, t.t.), hlm. 80.

[4] Faktor-faktor geografis, historis, dan psikologis itulah yang menyebabkan dibolehkannya nikah mut’ah pada masa Nabi, walaupun pembolehan itu sifatnya kasuistik, dan bersifat lokal-temporer. Lihat dalam Sahih Bukhari, jl. III, hlm. 125-126; Sahih Muslim, jl. II, hlm. 1022; Musnad Ahmad jl. I, hlm. 142, 402, dan 405. Untuk lebih jelasnya lihat Syuhudi Isma’il. Ĥadīŝ Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: Bulan Bintang, cetakan Pertama, 1994), hlm. 82-87.

[5] Bandingkan dengan Mirza Bas}īr al-Din Mahmūd Ahmad. al-Tafsīr al-Kabīr, (Tilford Surrey, U.K.: al-Syirkat al-Islāmiyyah), jl. I, hlm. 162-167.

[6] Abdullah Yusuf Ali. Al-Qur`ān Terjemahan dan Tafsīrnya, Terj. Ali Audah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), juz I s/d XV, hlm. 22, catatan no. 44.

[7] M. Ali al-S{abuni, Op, Cit, jl. I, hlm. 36.

[8] Abu M. Jamal Isma’īl , Op. Cit., hlm. 11.

[9] Untuk pengertian masing-masing istilah tersebut lihat Ali al-Jarimi dan Mushtafa Amin, al- Balagah al-Wad}ih}ah, (Surabaya: al-Hidayah, cet. ke-15, 1961), hlm. 84.; juga Machasin (penerjemah), al-Qadhi ‘Abd al-Jabbar, Mutasyabih al-Qur`ān; Dalil Rasionalitas al-Qur`ān, (Yogyakarta: LKIS, 2000), hlm. 76.

[10] Ali al-Jarimi dan Mushtafa Amin, Op. Cit., hlm. 8.

[11] al-S{ābūnī, al-Tibyān fī ‘Ulūm al-Qur`ān, (Beirut: Alam al-Kutub, 1985), hlm. 93-95.

[12] Abu M. Jamal Isma’īl , Op. Cit., hlm. 2.

[13] M. Ali al-S{abuni, Op, Cit, jl. III, hlm. 281.

[14] Ibid., jl. I, hlm. 36.

[15] Ibid., jl. II, h.96.

[16] Ibid., jl. III, hlm. 290.

[17] Ibid., jl. II, hlm. 466.

[18] Ayat tersebut turun ketika Nabi dan para sahabat Anshar mengadakan persetujuan di malam bai’ah ‘aqabah. Saat itu Abdullah ibn Rawahah bertanya; “wahai Rasūlullāh kewajiban apa yang engkau kehendaki dari kami terhadap Tuhanmu dan dirimu sendiri?” Rasūlullāh menjawab, “terhadap Tuhanku, sembahlah Dia dan jangan menyekutukan-Nya dengan apapun. Sedangkan terhadap diriku, cegahlah aku dari apa yang kalian sendiri mencegah diri kalian sendiri.” Lalu mereka bertanya, “andaikata itu kami lakukan, lalu apa konsekwensinya?” Rasūlullāh menjawab tegas, “Surga.” Maka turunlah ayat tersebut. Lihat Ibid., jl. I, hlm. 525; juga Abu al-Hasan Ali ibn Ahmad al-Wahidi al-Naisaburi. Asbab al-Nuzul, Beirut: Dār al-Fikr, 1991), hlm. 179.


Responses

2 Respones to "Bidadari sebagai Simbol konsep Jaza’ Amal Baik Manusia, Bukan Makhluk Fisik di Surga (Pemikiran M. Ali Al-Sabuni)"

Romeo said...

artikel ini menarik dan bisa menambah wawasan baru, salam kunjungan


23 July 2013 at 12:29

Post a Comment

 

Return to top of page Copyright © 2010 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by HackTutors