AKAD NIKAH : RUKUN DAN SYARAT
1.
Rukun-Rukun Dalam Akad Nikah
Rukun adalah bagian dari hakikat sesuatu. Rukun masuk didalam substansinya.
Adanya sesuatu itu karena adanya rukun dan tidak adanya karena tidak ada rukun.
Berbeda dengan syarat, ia tidak masuk ke dalam substansi dan hakikat sesuatu,
sekalipun itu tetap ada tanpa syarat, namun eksistensinya tidak diperhitungkan.
Akad nikah mempunyai beberapa rukun yang berdiri dan menyatu dengan
substansinya. [1]
Akad nikah tidak dapat diadakan, kecuali setelah memenuhi beberapa rukun
berikut ini :[2]
a. Kedua belah pihak (calon mempelai) telah mencapai usia
akil baligh. Jika salah seorang dari keduanya hilang ingatan atau masih kecil,
maka berarti belum mencapai usia baligh, sehingga akad nikah tidak dapat
dilaksanakan.
b. Menyatukan tempat pelaksanaan Ijab Qabul.
Dengan pengertian, tidak boleh memisahkan antara Ijab dan Qabul
dengan pembicaraan atau hal-hal lainnya selain. Tidak disyaratkan, pelaksanaan Qabul
dilakukan langsung setelah Ijab. Meski pertemuan pelaksanaan Ijab
Qabul itu berlangsung cukup lama dan qabul dilakukan dengan adanya
selang waktu dari ijab serta tidak ada hal-hal yang menunjukkan penolakan dari
kedua belah pihak, maka pelaksanaan Ijab Qabul tersebut tetap
satu. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh para ulama penganut madzhab
Hanafi dan Hanbali.
Dalam kitab Al-Mughni disebutkan, “bila ada
tenggang waktu antara Ijab dan Qabul, maka hukumnya tetap sah,
selagi dalam satu majelis yang tidak diselingi sesuatu yang mengganggu. Karena
dipandang satu majelis selama terjadinya ucapan akad nikah, dengan alasan sama
dengan penerimaan tunai, sedangkan bagi barang yang tidak disyaratkan tunai
penerimaannya, barulah dibenarkannya hak Khiyar (tetap jadi pembeli atau
membatalkan)”.[3]
Jika sebelum dilakukan Qabul salah seorang
calon pengantin memutuskan untuk tidak jadi menikah, maka Ijabnya batal.
Karena makna Ijab disini telah hilang. Sebab, menghalangi bisa dilakukan
oleh pihak laki-laki dengan jalan memutuskan untuk membatalkan niat menikah
sehingga dengan demikian tidak terlaksana Qabulnya. Begitu pula kalau
kedua-duanya sibuk dengan sesuatu yang mengakibatkan terputusnya Ijab Qabul,
maka Ijabnya batal lantaran upacara Qabulnya terhalangi.[4]
Lebih lanjut dikatakan: “Karena hukum yang berlaku
dalam majelis sama seperti yang berlaku pada pelaksanaan akad. Adapun dalil
yang dijadikan sebagai landasan dalam hal ini adalah disyaratkannya serah
terima dan juga hak pilih dalam berbagai perjanjian jual beli. Sehingga dengan
demikian, jika kedua mempelai tersebut terpisah tempat, maka Ijab yang
dimaksudkan menjadi batal dan tidak berarti.”[5]
Demikian pula jika masing-masing dari keduanya sibuk
dengan sesuatu hal yang lain sehingga mengakibatkan terputusnya waktu akad.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad mengenai seorang laki-laki yang didatangi
sekumpulan orang yang mengatakan kepadanya: “Nikahilah si fulan”, orang itu
menjawab: “Baiklah, aku menikahinya dengan mahar seribu dinar”. Kemudian mereka
kembali mendatangi si fulan dan memberitahukannya. Maka ia pun menjawab: Aku
terima. Lalu ditanyakan kepadanya (Imam Ahmad): Apakah yang demikian itu
merupakan sebuah pernikahan? “Ya”, jawabnya. Sedangkan para ulama penganut
Madzhab Syafi’i memberi tahu syarat terhadap pernikahan semacam itu, yaitu
tindakan segera.
Lebih lanjut mereka berpendapat, bahwa apabila
dilakukannya pemisahan antara Ijab dan Qabul itu dengan kata
pendahuluan, misalnya si wali mengatakan: “Aku nikahkan kamu”. Pihak pengantin
laki menjawab: “Dengan nama Allah, segala puji bagi Allah, shalawat dan salam
semoga senantiasa terlimpahkan kepada Rasulullah, aku terima nikahnya”. Maka
mengenai hal ini terdapat dua pendapat: Pertama, pendapat Syaikh Abu Hamid
Al-Isfirayaini. Bahwa pernikahan semacam itu tetap sah, Karena kata pendahuluan
diperintahkan dalam pelaksanaan akad pernikahan, sehingga tidak membatalkan
pernikahan, seperti halnya tayamum antara dua shalat jama’. Kedua, pendapat
yang menyatakan, bahwa pernikahan semacam itu tidak dapat dibenarkan. Karena
kata-kata tersebut telah memisahkan antara Ijab dan Qabul,
sebagaimana jika keduanya dipisahkan oleh selain kata pendahuluan. Berbeda
dengan tayamum yang diperintahkan melakukannya di antara dua shalat, maka
khutbah pernikahan diperintahkan sebelum berlangsungnya akad pernikahan.[6]
Adapun Imam Malik membolehkan waktu senggang yang
sebentar antara ucapan Ijab dan Qabul. sebab perbedaan pendapat
ini adalah masalah waktu pelaksanaan Ijab dan Qabul dalam akad
nikah, apakah disyaratkan melaksanakannya secara bersamaan atau tidak.[7]
c. Agar lafadz (penyampaian) Qabul tidak
bertentangan dengan Ijab kecuali pertentangannya itu lebih baik dari
yang seharusnya. Yaitu, jika pihak wali mengatakan: Aku nikahkah kamu dengan
puteriku, si fulan dengan mahar seratus junaihah. Lalu si mempelai menjawab : Aku
terima nikahnya dengan mahar dua ratus junaihah. Maka dengan demikian,
pernikahan itu telah sah, karena mencukupi dari yang seharusnya.
d. Kedua belah pihak saling mendengar satu dengan lainnya
dan memahami, bahwa maksudnya adalah pelaksanaan nikah. Meskipun salah atu dari
keduanya tidak memahami kata per kata dari kalimat yang diucapkan (dalam bahasa
lain). Karena, yang terpenting adalah tujuan dan niat.
Tidak semua akad nikah yang dilakukan
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan itu dapat dianggap benar
menurut hukum perkawinan Islam. Akad nikah baru bisa dianggap benar dan sah
jika memenuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh syariat Islam, dan sebaliknya suatu akad nikah dihukumkan batal jika tidak
memenuhi syarat dan rukunnya.[8]
Dimaksudkan dengan syarat akad
perkawinan ialah hal-hal yang harus ada sebelum akad perkawinan itu dilaksanakan.
Termasuk dalam syarat-syarat akad nikah tersebut ialah :
a.
Adanya calon istri (perempuan) dan calon suami
(laki-laki) yang masing-masing atas dasar kerelaan dan saling cinta mencintai
antara keduanya, bukan atas dasar paksaan dan terpaksa, masing-masing telah ada kesungguhan untuk berkawin. Tidak sah akad nikah jika
dilakukan atas dasar paksa dan terpaksa.
b.
Antara calon istri dan calon suami yang akan melakukan akad nikah,
masing-masing bukan termasuk Mawani’un nikah, yaitu orang-orang yang
terlarang melaksanakan perkawinan.
c.
Antara calon istri dan calon suami hendaknya orang-orang sejodoh
(sekufu) atau “Kafa’ah” dalam istilah fiqh. Kafa’ah menurut
bahasa artinya ialah “sama”, “serupa”, “seimbang”, atau “serasi”. Dan
dimaksudkan dengan Kafa’ah dalam hal ini adalah keseimbangan atau
keserasian antara calon suami dan istri hingga karenanya pihak-pihak yang
berkepentingan dengan perkawinan itu tidak merasa berkeberatan terhadap
kelangsungan perkawinan yang telah dilaksanakan.[9]
Akad tidak akan berakhir kecuali bila terjadi perceraian atau salah satu pihak
meninggal. Karena maksud disyari’atkannya perkawinan
adalah sebagai ikatan kekeluargaan yang abadi untuk mendidik anak, melaksanakan kehidupan rumah tangga, semuanya itu tidak terwujud tanpa melaksanakan
akad itu.[10]
Inilah yang dimaksudkan bahwa berlangsungnya perkawinan terhimpun dalam satu syarat-syarat yaitu
bahwa tidak seorang pun suami atau istri berhak merasakan akadnya setelah akadnya berlangsung dan berlaku secara sah, karena salah satu
pihak berhak membatalkan berarti akadnya tidak berlaku dan sia-sia menurut
pandangan syara’.
Yang dimaksud persyaratan dalam akad nikah ialah syarat-syarat yang dibuat dan diucapkan di dalam rangkaian
akad nikah, atau dengan kata lain akad (Ijab Qabul) yang disertai
dengan syarat-syarat. Persyaratan yang dibuat dalam akad nikah ada tiga
kemungkinan:
a. Syarat yang sifatnya bertentangan dengan tujuan akad nikah.
Dalam hal ini terdapat dua bentuk:
1)
Tidak sampai merusak tujuan pokok akad nikah. Misalnya suami berkata dalam Sighat
Qabulnya: “Aku terima nikahnya dengan syarat tanpa mas kawin”.[11]
Tidak ada perbedaan pendapat ulama tentang batalnya
syarat-syarat tersebut, sedangkan akad nikahnya sendiri tetap sah, karena akad
nikah itu sendiri telah menetapkan kewajiban suami memberi nafkah dan membayar
mahar menurut jumlah yang telah ditentukan dalam akad nikah atau berupa mahar Mitsil
(setelah Dukhul) jika syarat-syarat untuk menggugurkan kewajiban
tersebut di dalam suatu akad berarti menetapkan tidak wajibnya hal-hal
tersebut. Dapat dikatakan, dengan menyebutkan syarat-syarat tersebut hanya
sia-sia saja, dan tidak wajib untuk dipenuhi.[12]
Oleh karena itu walaupun di dalam akad nikah disebutkan syarat tanpa mas kawin
atau tanpa nafkah, kewajiban membayar mas kawin dan nafkah itu tetap.[13]
2)
Merusak tujuan pokok akad nikah. Misalnya: pihak istri membuat syarat agar
ia tidak disetubuhi, atau istrinya yang harus memberikan nafkah. Hukum membuat
syarat seperti ini sama dengan apa yang telah diuraikan pada huruf (a) di atas,
yaitu syarat-syaratnya batal, karena akad nikah itu sendiri telah memberikan
hak kepada suami untuk menyetubuhi istrinya.
b. Syarat-syarat yang tidak bertentangan dengan tujuan
akad nikah. Dalam hal ini terdapat juga dua bentuk:
1)
Merugikan pihak ketiga secara langsung. Contoh: istri mensyaratkan kepada
calon suami (yang sudah punya istri) supaya menjatuhkan talak istrinya itu.
Syarat seperti ini dianggap tidak ada, karena jelas bertentangan dengan
larangan agama, dengan nash yang jelas.[14]
2)
Manfaat syarat-syarat itu kembali kepada wanita. Misalnya: calon istri
mensyaratkan agar ia tidak dimadukan. Mengenai syarat seperti ini, terdapat
perbedaan pendapat di kalangan fuqaha’.[15]
a)
Pendapat pertama yang memandang bahwa syarat seperti itu hukumnya batal,
sedang akad nikahnya tetap sah.
Beristri lebih dari satu orang diizinkan agama. Syarat-syarat yang sifatnya
melarang sesuatu yang dibolehkan agama adalah batal hukumnya, karena hal itu
tidak patut. Selain dari itu perlu pula difahami, bahwa Imam Syafi’i dan Abu
Hanifah sependapat bahwa syarat-syarat tidak merusak akad nikah, tapi merusak
mahar Musamma, karena itu kembali kepada mahar Mitsil.[16]
b)
Pendapat kedua memandang syarat seperti itu hukumnya sah dan wajib dipenuhi
dan jika tidak dipenuhi maka pihak wanita tidak berhak memfasakhkan akad
nikahnya. Allah berfirman:
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& Ïqà)ãèø9$$Î/ 4
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah
aqad-aqad itu (janji-janji itu).[17]
(QS. Al-Ma’idah : 1)
Rasulullah SAW
bersabda :
حَدَّثَنَا اَبُوْ الْوَلِيْدِ هِشَامُ بْنُ عَبْدِ
الْمَلِكِ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ يَزِيْدَ بْنِ اَبِى حَبِيْبٍ عَنْ اَبِى
الْخَيْرِعَنْ عُقْبَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
اَحَقُّ مَا اَوْفَيْتُمْ مِنَ الشُّرُوْطِ اَنْ تُوْفُوْا بِهِ مَا
اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ[18] {رَوَاهُ البُخَارِى}
Artinya : “Diceritakan kepada kami dari Abu al-Walid
Hisyam bin Abdi al-Malik, dari Lais, dari Yazid bin Abi Habib, dari Abi
al-Khoir, dari Uqbah, dari Nabi SAW. Beliau bersabda: “Syarat yang paling utama
untuk dipenuhi adalah sesuatu yang
dengannya kamu pandang halal hubungan kelamin.” (HR. Bukhori)
c. Syarat yang sejalan dengan tujuan akad nikah, dan tidak
mengandung hal-hal yang menyalahi hukum Allah dan Rasul. Contoh : pihak wanita
mensyaratkan harus diberi belanja, dipergauli dengan baik, tidak mencemarkan
nama suaminya, dan sebagainya. Dalam hal ini wajib dipenuhi karena sesuai
dengan tujuan nikah.[19]
[2] Syaikh Kamil Muhammad, ‘Uwaidah, Al Jami’ Fii Fiqhi
An-Nisa’, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998, hlm. 402 – 404.
[8]
Hady Mukaat Ahmad, Fiqh Munakahat, Semarang:
Duta Grafika, 1942, hlm. 102
[9] Ibid.,
[11] Chuzaimah T. Yanggo, A. Hafiz Anshary, (ed), Problematika
Hukum Islam Kontemporer (1), Jakarta: PT. Pusaka Firdaus, cet.2, 1996, hlm.
50.
[17]
Yayasan penyelenggara penterjemah Al-Qur’an, loc.cit., hlm. 156.
[18] Al-Bukhori, Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Shohih
Bukhari, Juz I, Beirut: Daar wa Matabi al-Sya’bi, hlm. 26.
Responses
6 Respones to "AKAD NIKAH : RUKUN DAN SYARAT"
sangat bermanfaat, makasih gan
14 September 2013 at 11:04
sangat bermanfaat, makasih gan
14 September 2013 at 11:05
sangat bermanfaat sekali gan
syukron katsiron ya
20 September 2013 at 20:54
thank you
30 September 2014 at 12:25
Assalamualaikum...
Maaf saya mau menanyakan, jika ada 2 orang anak perempuan kembar yang terpisah saat kecil. Yang satu tetap dengan orang tuanya dan yang satu ditemukan dan dibesarkan oleh keluarga lain. Hingga dewasa mereka tidak pernah bertemu dan saling tidak mengetahui begitupun orang tua kandungnya tidak mengetahui bahwa anak kembarnya yang hilang masih hidup. Keduanya saat dewasa telah memiliki calon suami. Hingga suatu hari keduanya mengalami kecelakaan dan hilang ingatan/ amnesia dan tertuka, dan salah satunya contoh si A akan menikah dengan calon suami B (karena calon suami B tidak tau itu bukanlah kembaran calon istri aslinya, begitu pun dari anggota keluarga tidak tahu). Apakah pernikahan mereka syah? Jika yang tertukar tersebut menikah tanpa paksaan karena yang dia dan orang sekitarnya tau dia adalah si B? Lalu jika memang syah dan dia pulih dari amnesia nya setelah menikah dan ingat kembali siapa dirinya apakah pernikahan tersebut dapat dibatalkan? Dan jika pernikahan itu syah maka si suami itu sebenarnya secara hukum agama dan hukum pemerintahan adalah suami dari wanita yang ada disampingnya ataukan wanita yang namanya disebutkan saat ijab qobul dan tertera pada buku menikah? Apakah itu termasuk Fasakh? Mohon pencerahannya.
28 July 2015 at 13:50
mantap gan infonya, berguna sekali artikelnya
souvenir pernikahan murah
1 December 2015 at 17:19
Post a Comment