Batasan-Batasan Hak Suami Dalam Memperlakukan Istri Nusyuz



Batasan-Batasan Hak Suami Dalam Memperlakukan Istri Nusyuz. Walapun pada dasarnya persoalan nusyuz tidak selalu muncul dari pihak isteri akan tetapi juga dapat timbul dari pihak suami, namun pada kenyataannya hak-hak yang dimiliki oleh suami selama ini lebih dominan dan mendapatkan pengakuan secara yuridis. Artinya, secara hukum maupun secara realitas di lapangan pihak suami selalu menjadi pihak yang menang dan diuntungkan ketika persoalan nusyuz terjadi, sedangkan bagi pihak isteri kerap kali menjadi korban yang dipersalahkan. Oleh karena itu batasan hak-hak suami di sini perlu untuk ditegaskan.
1.   Hak Persuasif dan Sanksi Fisik

Dalam Tafsir Ibnu Kas\ir diterangkan bahawa bila kamu menghawatirkan nusyuz dari pihak isteri-isteri kamu, maka nasihatilah mereka, dan pisahkan dirimu di tempat tidur mereka, jika nasehatmu diacuhkan maka janganlah mereka diajak bicara tanpa memutus pernikahanmu dengan mereka, dan jika semua itu tidak berhasil juga, maka kamu boleh memukul mereka dengan pukulan yang tidak merusak bagian-bagian tubuhnya terutama wajah dan kepalanya.[1] Dalam hal ini bahwa tindakan bertahap yang dapat dilakukan oleh suami terhadap isteri yang nusyuz adalah:

a.      Menasihati (فعظوهنّ )

Dalam rangka menyikapi persoalan nusyuz ini, langkah pertama yang ditawarkan dalam al-Qur'an adalah dengan memberikan nasehat (advice) secara bijaksana kepada isteri yang nusyuz. Tentu saja nasehat kepada isteri berbeda antara satu dengan yang lainya, tergantung situasi dan kondisi yang dihadapi, karena diantara mereka ada yang terpengaruh oleh sanksi-sanksi duniawi, seperi dimusuhi dan lain-lain ada juga yang tidak.

Nasihat merupakan upaya persuasif dan langkah edukasi pertama yang harus dilakukan seorang suami ketika menghadapi isteri yang nusyuz. Hal ini ditujukan sebagai cara perbaikan secara halus untuk menghilangkan semua kendala-kendala yang mengusik hubungan cinta kasih suami-isteri. Hampir seluruh ulama berpendapat sama, yakni, amat pentingnya cara memberi nasihat ini, sehingga hal ini menjadi urutan pertama dalam upaya menyelesaikan permasalahan nusyuz.[2]

Suami hendakanya menggigatkan kembali tentang ikatan janji yang kuat (mis\aqan galiza) diantara mereka yang tidak boleh pudar begitu saja oleh hati maupun aqal. Kepada isteri juga disampaikan akibat buruk yang akan menimpa hubungan mereka apabila ia tetap dan meneruskan jalanya itu.[3] Dalam Tafsir al-Bahru al-Muhit dijelaskan dalam usaha menasihati isteri yang nusyuz tersebut tidak lupa dengan mengingatkan kepadanya akan perintah Allah untuk taat kepada suami.[4] Hal ini senada dengan apa yamg diungkapkan oleh Abu Bakar Al-Jassas bahwa menasihati yaitu menakut-nakuti isteri dengan siksaan Allah.[5]

Mau’idah atau nasihat merupakan upaya persuasif yang penting dan sudah semestinya selalu dikedepankan dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang terjadi antara suami-isteri dalam rumah tangga. Namun jika persoalan yang mereka hadapi terasa semakin berat dan diantara mereka tidak ada lagi pihak yang mau memulai untuk mengambil inisiatif damai secara persuasif ini, maka mereka dapat mendatangkan mediator pihak lain sebagai perwakilan mereka guna mendiskusikan persoalan yang sedang terjadi.[6] Upaya persuasif dengan jalan musyawarah dan diskusi dengan memakai mediator ini sendiri disinggung al-Qur’an secara langsung;

وإن خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها إن يريدا إصلا حا يوفق الله بينهما إن الله كان عليما خبيرا[7]

Diharapkan dengan adanya sikap saling memberikan nasihat secara baik dan bijak akan dapat menciptakan kondisi relasi suami-isteri dan kehidupan rumah tangga secara umum kembali harmonis dan kondusif. Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari dibutuhkan adanya suasana musyawarah dan dimokratis dalam kehidupan rumah tangga. Musyawarah berarti dalam segala aspek kehidupan dalam rumah tangga harus diputuskan dan diselesaikan berdasarkan musyawarah minimal antara suami-isteri. Sedangkan maksud demokratis adalah bahwa antara suami dan isteri harus saling terbuka untuk dapat menerima pandangan dan pendapat pasanganya.[8]

Terciptanya suasana musyawarah dan demokratis dalam rumah tangga pada ahirnya akan menjadikan pasangan suami-isteri dalam menjalankan kewajiban dan memperoleh hak secara berimbang dan sejajar. Dan dari sini diharapkan dapat memunculkan sikap diantara mereka untuk:

1)      saling mengerti, mengerti latar belakang masing-masing dan diri sendiri.

2)      saling menerima, menerima sebagaimana adanya menyangkut kelebihan dan kekurangan pasangannya.

3)      saling menghormati, menghormati perasaan, keinginan dan pribadi masing-masing.

4)      saling mempercayai.

5)      saling mencintai, bijaksana dan menjahui sikap egois.[9]

b.      Pisah ranjang (واهجروهنّ)

Secara etimologis hijr berarti meniggalkan, memisahkan dan tidak berhubungan dengan obyek yang dimaksud.[10] Sedangkan kata al-Madaji' yang menjadi rangkaian kata hijr berarti tempat tidur atau tempat berebah.[11] Secara epistemologis atau istilah para fuqaha', hijr adalah seorang suami yang tidak menggauli isterinya, tidak mengajaknya bicara, tidak mengadakan hubungan atau kerja sama apapun dengannya.[12]

Sedangkan hijr menurut pendapat Ibn 'Abbas sebagaimana yang juga dikutip oleh as-Sabuni adalah sikap seorang suami yang memiringkan pinggang dan memalingkan pungungnya dari isterinya serta menghindari melakukan hubungan badan denganya. Pendapat yang lain mengatakan tentang hijr yaitu suami yang meninggalkan tempat tidur isterinya dan menjauhkan diri untuk kontak denganya.[13] Jadi batasanya jarak mengenai hijr itu sendiri dapat dikatakan sebatas kontak fisik, tempat tidur atau maksimal sebatas dalam rumah.

Dari pengertian di atas dapat disimpulakan bahwa hijr dapat berbentuk ucapan atau perbuatan. Hijr dengan ucapan artinya suami tidak memperhatikan atau memperdulikan perkataan isterinya serta tidak mengajaknya berbicara. Sedangkan hijr dengan perbuatan adalah bahwa suami berpisah tempat tidurnya dari isterinya atau sekedar tidak mengaulinya, atau memisahkan diri dari kamarnya.

Para ulama sepakat membolehkan hijr dengan ucapan selama tidak melebihi dari tiga hari. Mereka mendasarkan pendapatnya pada hadis Abu Ayyub al-Ansariy, bahwa Rasulullah bersabda:

لايحل لمسلم ان يهجر أخاه فوق ثلاث ليال[14]

Mengenai hijr dengan perkataan ini sebenarnya tidak ada ketentuan batas waktunya. Oleh karena itu para ulama membatasi waktunya dengan menganaloqikannya kepada hukum illa’,[15] yang menurut syara’ ditentukan selama 4 (empat bulan). Sebagaimana dijelaskan al-Qur’an:

للذين يؤلون من نسائهم تربص أربعة أشهر فإن فاءو فإن الله غفوررحيم[16]

Hanya saja batasan ini bukanlah batasan yang mutlak. Artinya boleh juga hanya sebulan dan sudah dianggap cukup untuk mengambil sebuah tindakan selanjutnya sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah terhadap isteri-isterinya.

Adapun batas waktu hijr dengan perbuatan yang berupa sikap menjahui dan tidak melakukan hubungan intim dapat dilakukan suami tanpa batas, selama yang diinginkanya, selagi hal itu dipandang dapat menyadarkan isteri, asal tidak lebih dari empat bulan berturut-turut, karena jangka waktu empat bulan adalah batasan maksimal yang tidak boleh dilampaui, sesuai pendapat yang terkuat dari pendapat ahli hukum. Hal ini juga sebagaina yang dijelaskan dalam kitab Tafsir al-Qurtubi bahwa suami dibolehkan tidak mengauli isterinya selama empat bulan dalam upaya menyadarkan isterinya.[17]

Pada dasarnya jika diteliti lebih jauh tahap hijr ini masih merupakan upaya lanjut yang merupakan hak dari suami dalam menyikapi isteri nusyuz secara persuasif sebelumnya yaitu Mau’idah yang mana kedua langkah tersebut merupakan usaha bijaksana untuk rekonsisiliasi, penyatuan kembali dengan melakukan intropeksi diri masing-masing pasangan. Kalau perlu, dalam tahap intropeksi dan perenungan diri ini dilakukan dengan pisah ranjang sementara  (al-tahjir fil madaji’).[18]

Menurut Muhammad Abduh sebagaimana dikutip Nurjannah Ismail ia berpendapat bahwa langkah kedua ini, yaitu menjahui isteri dari tempat tidurnya merupakan sanksi dan pelajaran yang diberikan kepada isteri yang sangat mencintai suami dan amat menderita bila dikucilkan. Menjahui tempat tidur bukan berarti harus meninggalkan tempat tidur atau kamar tidur untuk tidak tidur bersama isteri, karena itu malah akan dapat menambah kebandelan isteri. Sebab dengan masih tidur bersama isteri walaupun tidak mencampurinya diharapkan akan mampu menetralisir emosi suami dan isteri, sehingga jiwa menjadi tenang dan pertengkaran dapat diatasi.[19]

Oleh karena itu pemahaman tentang hijr yang selama ini lebih dipahami sebagai hak suami untuk ‘menghukum’ isterinya yang nusyuz dengan menjahuinya, mendiamkannya dan tidak melakukan hubungan badan dengannya merupakan pemahaman yang berlebihan. Sebab ketika tahap hijr diartikan seperti itu maka tentu saja persoalan yang ada di antara suami-isteri tidak akan selesai-selesai bahkan akan berlarut-larut. Hal itu ditambah lagi perasaan kecewa isteri karena kebutuhan psikologis dan biologisnya tidak terpenuhi oleh sikap suami yang berusaha menjahuinya.

Pencegahan atau kekurang puasan salah satu pasangan dalam urusan penyaluran biologis sendiri dapat memicu berbagai masalah yang dapat menganggu keharmonisan relasi suami-isteri antara lain penyelewengan, perzinahan dalam berbagai bentuknya dan perceraian.[20]

Dalam urusan penyaluran kebutuhan biologis Islam senantiasa menekankan arti penting keadilan diantara suami-isteri agar terjamin keadilan seksual sebagai kebutuhan biologis mereka secara berimbang. Hal ini sebagaimana disinggung oleh al-Qur’an sendiri, diantaranya:

ولهن مثل الذى عليهن بالمعروف وللرجال عليهن د رجة والله عزيز حكيم[21]

Dalam Ayat lain juga disebutkan:

ولا تتمنوا ما فضل الله به بعضكم على بعض للرجال نصيب مما اكتسبوا وللنساء نصيب مما اكتسبن[22]

Ulama mazhab Hanafi berpendapat isteri boleh menuntut suami untuk melakukan persetubuhan dengannya, karena kehalalan suami bagi isteri merupakan hak isteri, begitu pula sebaliknya jika isteri menuntutnya maka suami wajib memenuhinya, ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa melakukan persetubuhan adalah kewajiban suami-isteri jika tidak ada uzur (alasan yang dibenarkan secara syar’i).[23]

Begitu pula masalah kewajiban isteri untuk melayani suami dalam berhubungan badan, al-Syirazi berpendapat bahwa meskipun pada dasarnya isteri wajib melayani permintaan suami, akan tetapi jika ia tidak ‘mud’ atau sedang tidak bergaira untuk melayaninya ia boleh menawarnya atau menagguhkannya sampai batas tiga hari. Dan bagi isteri yang sedang sakit atau tidak enak badan maka tidak wajib baginya untuk melayaninya sampai sembuh.[24] Jika suami tetap memaksa maka dia telah melanggar prinsip muasyarah bi al-ma’ruf dengan berbuat aniaaya kepada pihak yang justru seharusnya ia lindungi.

 Oleh karena itu suami tidak boleh mengklaim isterinya telah melakukan nusyuz hanya gara-gara dia tidak bersedia melayaninya di sesuatu ketika, karena hal itu harus juga mempertimbangkan situasi dan kondisi isteri. Bahkan dalam persoalan hijr yang selama ini dipahami sebagai kewenangan suami untuk menjahui isteri yang nusyuz sebagai bentuk pembelajaran sekaligus pemberian sanksi sudah semestinya jika harus dikaji kembali, karena dengan melakukan hal itu pada dasarnya suami telah melupakan prinsip keadilan, keseimbangan dan prinsip mu’asyarah bil ma’ruf . Dan dalam hal ini ia malah dapat dinilai telah melakukan nusyuz terhadap isterinya.

c.  Memukul (واضربوهنّ)

Dalam masalah pemukulan ini fuqaha' mendefinisikannya dengan pengertian yang masih umum, yaitu suatu perbuatan yang menyakitkan badan, baik meninggalkan bekas atau tidak, dengan mengunakan alat atau tidak.[25]

Kalau diteliti lebih lanjut sebenarnya kalimat daraba berasal dari fi’il madi daraba – yadribu yang di dalam Al-Qur’an kata ini mempunyai banyak arti:

1) Jika dalam Ayat واضربوهنّ  jelas fi’il amr yang berasal dari fi’il madI bermakna pukul artinya seseorang yang menjatuhkan sesuatu dari anggota tangannya kepada orang lain.

2) Untuk Ayat وضرب الله مثلا kalimat fi’il madI ini bukan arti pukul, namun mempunyai arti i’tibar (perumpamaan).

3) Jika untuk Ayat عن اضرب بعصاك الحجر artinya fi’il amar yang tersebut sama artinya dengan pukul, hanya bedanya dengan suatu alat.

Bagi fuqaha yang berpendapat tentang dibolehkanya melakukan pemukulan, mereka mendasarkannya pada surat an-Nisa’ (4): 34 yang memiliki kronologi historis (sabab an-nuzul) sebagaimana diriwAyatkat oleh az-Zamakhsyari tentang peristiwa Sa’ad ibn Ar-Rabi’ ibn ‘Amr dan isterinya Habibah binti Zaid ibn Abi Zuhair sebagai peristiwa yang melatar belakangi turunya Ayat ini. DiriwAyatkan bahwa Habibah nusyuz terhadap suaminya Sa’ad, salah seorang pemimpin Ansar. Lalu Sa’ad memukul Habibah, puteri Zaid ibn Zuhair ini mengeluhkan perlakuan suaminya kepada ayahnya. Sang ayah kemudian mengadukan hal itu kepada Nabi. Nabi menganjurkan Habibah membalas dengan setimpal (qisas). Berkenaan peristiwa itulah turun surat an-Nisa’ Ayat 34 ini. Setelah Ayat turun, Nabi bersabda: “Kita  menginginkan  satu cara, Allah menginginkan cara yang lain. Yang diinginkan Allah itulah yang terbaik” (أردنا أمرا وأراد الله أمرا والذى أراد الله خير). Kemudian dibatalkan hukum qisas terhadap pemukulan suami itu.[26]

Ada juga beberapa hadis yang dikerap kali dijadikan dasar dalam masalah ini oleh fuqaha, diantaranya:

ألآواستوصوا بالنساء خيرا, فإن هن عوان عندكم ليس تملكون منهن شيئا غير ذالك إلا أن يأتين بفاحشة مبينة, فإن فعلن فاههجروهن فى المضاجع واضربوهن ضربا غيرمبرح, فإن أطعنكم فلاتبغو عليهن سبيلا0 ألا إن لكم على نسائكم حقا0 فحقكم عليهن فلا يوطعن فروشكم من تكرهون ولايأذن فىبيوتكم لمن تكرهون0 ألاوحقهن عليكم أن تحسنوا إليهن فىكسوتهن وطعامهن[27]

Sebenarnya masih terdapat ayat lain yang cukup beralasan untuk dijadikan pembanding dalam mengkaji persoalan pemukulan terhadap isteri ini yaitu;

وخذ بيدك ضغثا فاضرب به ولاتحنث إنا وجدنه صابرا نعم العبدإنه أواب[28]

Sebagaian ulama berpendapat dengan berdasarkan pada ayat di atas tentang dibolehkannya suami memukul isterinya dalam rangka memberi pelajaran. Seperti halnya nabi Ayyub yang memukul isterinya karena telah melanggar hak-hak suami.[29]

Dari Ayat di atas juga menunjukkan tentang dibolehkannya pemukulan terhadap isteri dengan batasan tidak sampai melampaui batas sebagai instrument pendidikan, dalam arti lain, dibolehkanya tindakan tersebut bukan berarti tanpa adanya unsur kemakruhan atau suatu yang lebih baik jika harus dihindari.[30]

Walaupun kelihatanya secara tekstual syari’at membolehkan suami memukul isteri yang nusyuz, akan tetapi bagaimanapun harus diperhatikan penjelasan Rasulullah dalam menetapkan syarat-syarat diperbolehkannya tindak pemukulan tersebut, yaitu tidak boleh dimaksudkan untuk menghina derajat atau martabat wanita, menyakiti isterinya dan tidak boleh dilakukan dengan motifasi menggangu atau tindakan balas dendam.[31] Dalam hal pemukulan, para mufassir sepakat bahwa pemukulan yang dibenarkan adalah pukulan yang tidak menyakitkan (ghair mubarrih) pukulan yang tidak melukai, tidak mematahkan tulang dan tidak merusak muka.

Menurut Muhammad 'Ali as-Sabuni dan Wahbah az-Zuhaili, bagian yang harus dihindari dalam tahap pemukulan adalah:

a.       bagian muka, karena muka adalah bagian tubuh yang dihormati.

b.      bagian perut dan bagian lain yang dapat menyebabkan kematian, karena   pemukulan ini bukan bermaksud untuk mencidrai apalagi membunuh isteri yang nusyuz, melainkan untuk mengubah sifatnya.

c.       memukul hanya pada satu tempat, karena akan menambah rasa sakit dan akan memperbesar timbulnya bahaya.[32]

Dalam rangka memberi pendidikan bagi isteri yang nusyu ar-Razi dan at-T{abari juga tampaknya memiliki pemahaman yang tidak jauh berbeda dengan ulama fiqh. Mereka tidak menafikan adanya kemungkinan untuk memukul isteri asal telah diyakini melakukan nusyuz. Hanya  saja untuk masalah pemukulan ini, kedua mufassir tersebut bahkan tampaknya semua mufassir sepakat memberikan catatan bahwa pukulan yang dibenarkan adalah pukulan yang tidak menyakitkan (ghaira mubarrih), yang tidak melukai, tidak mematahkan tulang dan tidak merusak muka. Ringkasnya, mereka mengatakan wa ad-dharbu mubah wa tarkuhu afdal (pemukulan itu boleh dan meninggalkannya lebih baik).[33]

Sebagaimana para mufassir yang lain Muhammad Abduh berpendapat perintah memukul isteri bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan akal dan fitrah. Memukul diperlukan jika keadaan sudah buruk dan akhlak isteri sudah rusak. Suami boleh memukul isteri ketika suami melihat bahwa rujuknya isteri hanya dengan cara memukulnya. Akan tetapi, jika keadaan sudah membaik dan isteri sudah tidak nusyuz lagi cukup dengan cara menasehatinya atau mengasingkannya dari tempat tidur, maka tidak perlu memukulnya. Setiap keadaan menentukan hukuman yang sesuai, sementara itu kita diperintahkan menyayangi kaum perempuan, tidak menganiaya, menjaganya dengan cara yang baik, dan jika menceraikannya harus dengan cara yang baik pula.[34]

Terdapat penjelasan yang menarik dari Rasyid Ridha, yaitu  penolakannya terhadap anggapan orang bahwa Islam menindas kaum perempuan karena adanya perintah pemukulan ini. Ia menggariskan bahwa pemukulan dilakukan sebagai langkah terakhir jika langkah-langkah sebelumnya tidak berhasil, dan itupun harus dalam batas tidak menyakitkan. Lebih lanjut ia menyatakan: “jangan membayangkan kaum perempuan Islam itu lemah dan kurus yang dagingnya disobek-sobek oleh cemeti suaminya.” Untuk itu, ia mengutip hadis Rasulullah SAW; “Apakah salah satu diantara kalian akan memukul isterinya seperti halnya memukul budak lalu menyetubuhinya di malam hari?”. Menurut Rasyid Ridha pemukulan adalah obat pahit (‘ilaj murr) dan ia mengatakan bahwa laki-laki yang saleh tidak akan memukuli perempuan (isterinya) walaupun itu diperbolehkan.[35]

Diantara ketiga hak atau kewenangan yang dimiliki seorang suami dalam memperlakukan istri nusyuz dengan berdasarkan pada surat an-Nisa’ (4): 34 di atas, hak suami dalam memukul merupakan salah satu hak yang mengundang polemik dan perdebatan panjang, khususnya dikalangan ulama fiqh, ahli tafsir (mufassir) dan pemikir-pemikir feminis kontemporer.

Jika para ulama sepakat dengan pemukulan terhadap isteri nusyuz diperbolehkan asal masih dalam batas-batas yang wajar dan tidak bertujuan untuk menyakiti, pada dasarnya ulama juga menekankan agar tidak memukul. Sedangkan bagi para feminis ada yang berpendapat bahwa pemukulan tidak pernah dianjurkan oleh Al-Qur’an. Pendapat ini dilontarkan oleh para kaum feminis seperti Ashgar Ali Engineer, ia berpendepat dengan mengutip pendapat Ahmed Ali dari kitab Ragib Al-Mufradat fi Garib Al-Qur’an yang menerangkan bahwa kata daraba mempunyai makna metaforis yaitu melakukan hubungan seksual.[36]

Pada dasarnya Nabi sangat menghargai perempuan, asbab an-nuzul ayat 34 ini ketika Habibah mengadu bersama ayahnya kepada Nabi tentang pemukulan suaminya. Nabi ketika itu dengan bersimpati menyuruh Habibah agar membalas (qisas) terhadap suaminya, tetapi Allah menurunkan ayat ini. Di sini Nabi menunjukkan simpati, keinginan untuk mengangkat derajat perempuan atau korban kekerasan, tetapi Ayat ini terkesan memihak laki-laki. Menurut Ashgar dengan mengutip pendapat S.T Lokhandwala, dalam The Potition of Women Under Islam; bahwa ayat ini bersifat kontekstual, karena suami Habibah merupakan pemimpin Ansar (Sa’ad bin Rabi’). Keputusan Nabi untuk mengqisas suaminya mendapat penolakan dari laki-laki Madinah, mungkin kekhawatiran Nabi akan sarannya menimbulkan kegemparan dalam sebuah masyarakat di mana laki-laki benar-benar dominan. Ayat ini diwahyukan sebagai anjuran yang menyejukkan demi mengendalikan kekerasan laki-laki terhadap perempuan dan menganjurkan mereka untuk menyesuaikan diri dalam masyarakat yang didominasi laki-laki.[37]

Ayat ini tampak mengizinkan pemukulan terhadap isteri, tetapi Lokhandwala berpendapat bahwa konteks Madinah tidak dapat diabaikan. Dilihat dari konteks ini, Ayat tersebut mempunyai maksud agar tidak menimbulkan reaksi yang terlalu keras, pertama Al-Qur’an mengatakan bahwa perempuan yang tidak taat sebaiknya diperingatkan, dan jika mereka tetap dalam nusyuz (pemberontakannya) mereka harus dipisahkan di tempat tidur, dan jika mereka tetap tidak berubah juga, maka mereka harus dihukum. Tetapi Allah meminta agar tidak mencari-cari jalan untuk memusuhi mereka dan berbaikan dengan mereka jika mereka taat.[38]

Dalam menyikapi persoalan nusyuz Amina Wadud menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Qur’an Dan Perempuan, bahwa nusyuz adalah  gangguan keharmonisan keluarga, dengan mengutip surat an-Nisa’ Ayat 34; karena itu, wanita yang baik adalah (qanitat), memelihara diri ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah telah memelihara mereka. Adapun wanita-wanita yang kamu takutkan (nusyuz), nasihatilah mereka, pisahkan mereka di tempat tidur yang terpisah, dan pukullah mereka. Kemudian, jika mereka menaatimu, jangan mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Berarti, seorang wanita harus mematuhi suaminya, jika tidak, suami boleh memukulnya. Amina berpendapat bahwa maksud ayat tersebut adalah untuk memberi jalan pemecahan ketidak-harmonisan antara suami dan isteri.[39] Oleh karena itu memahaminya sebagai sebuah dalil yang membolehkan seoarang suami dalam memberikan hukuman atau sanksi kepada isteri yang nusyuz adalah tidak tepat.

Bagi Amina, ia setuju dengan dua cara pertama dalam menyikapi isteri nusyuz, yaitu manasehati dan menjahuinya dari tempat tidur. Mengenai cara yang ketiga yaitu memukul, dia menentangnya. Menurutnya memukul bukanlah jalan terbaik dan tidak akan dapat menyelesaikan masalah yang terjadi, justru akan semakin membuat persoalan menjadi berat. Memukul harus dimaknai sebagai cara untuk kembali mengadakan usaha damai dan kalau tidak bisa maka lebih baik diakhiri dengan perceraian.

    Hak mencegah Nafkah

Dalam kitab Kifayat al-Ahyar dijelaskan bahwa ketika seorang isteri yang telah jelas-jelas nusyuz maka hendanya dinasihati, dan jika masih tetap tidak mau berubah maka boleh dijauhi (hijr), dan jika tidak mau berubah juga maka boleh dipukul. Gugur pula sebab nusyuz tersebut adalah hak nafkah isteri dan gilirannya.[40]

Hampir seluruh ulama sepakat tentang tercegahnya nafkah bagi isteri yang nusyuz. namun mereka berbeda pendapat di dalam menentukan bentuk dan sifat perbuatan nusyuz seperti apa yang menyebabkan tercegahnya nafkah isteri itu. Menurut Abu Hanifah, seorang isteri gugur hak nafkahnya manakalah dia berpergiang tanpa izin dari suaminya dan untuk sesuatu yang tidak menjadi kewajiban baginya. Sedangkan menurut Imam Malik dan Syafi’i, hal itu tidak sampai menyebabkan hilangnya hak nafkah isteri.[41] Dasar ketidakwajiban seorang suami dalam memberikan nafkah kepada isteri nusyuz adalah berdasarkan ijmak ulama.[42]

Ulama Hanafi berpendapt manakala isteri mengeram dirinya dalam rumah suaminya, dan tidak keluar rumah tanpa izin dari suaminya, maka ia masih disebut patuh (muti'at), sekalipun ia tidak bersedia dicampuri tanpa alasan syara' yang benar. Penolakan yang seperti itu, walaupun haram, tetapi tidak menggugurkan haknya untuk mendapat nafkah. Oleh karena itu beliau berbeda pendapat dengan seluruh mazhab yang lainya. Sebab seluruh mazhab yang lain sepakat bahwa, manakala isteri tidak memberi kesempatan kepada suami untuk menggauli dirinya dan ber-khalawat dengannya tanpa alasan berdasar syara' maupn rasio, maka dia dipandang sebagai wanita nusyuz yang tidak berhak atas nafkah. Bahkan Syafi'i mengatakan bahwa, sekadar kesediaan digauli dan ber-khalawat, sama sekali belum dipandang cukup kalau si isteri tidak menawarkan dirinya kepada suaminya seraya mengatakan dengan tegas, "aku menyerahkan diriku kepadamu.[43]

Ada pula yang mengkaitkan gugurnya hak nafkah isteri ini dengan pengertian perbuatan nusyuz secara umum, karena ketika isteri melakukan nusyuz, maka berarti ia telah keluar dari ketaatan, dan itu dapat menyebabkan hilangnya hak nafkah. Dan jika ia taat lagi, maka nafkah isteri tersebut wajib diberikan terhitung saat ia taat pada suaminya kembali.[44]

Adapun hikmah dari gugurnya hak nafkah tersebut bagi isteri yang nusyuz adalah diharapkan dengan itu sikap isteri akan kembali baik dan taat kepada suaminya sehingga terpeliharalah kekokohan dan kelangsungan rumah tangga karena gugurnya nafkah merupakan sanksi kepada isteri yang melakukan nusyuz.[45]

Dalam masalah nafkah bagi isteri yang nusyuz, Ibn Hazm mempunyai pendapat yang bertentangan dengan jumhur fuqaha. Ibn Hazm berpendapat bahwa isteri yang nusyuz tetap mendapatkan nafkah. Menurutnya, suami wajib memberinya nafkah sejak akad nikah, tidak ada perbedaan antara isteri yang nusyuz maupun yang tidak, yang masih kecil atu yang sudah besar dan sebagainya. Mengenai pendapat Ibn Hazm ini disebut dalam kitab al-Muhalla;

وينفق الرجل على امرائته حين يعقد نكاحها دعى الى البناء اولم يدع ولو أنها فىالمهد ناشزا كانت اوغير ناشز غنية كانت اوفقيرة ذات أب كانت اويتيمة بكر او ثيبا حرة كانت اوأمة[46]

Pendapat tersebut berdasarkan hadis yang diriwAyatkan oleh Muslim dari Jabir r.a. bahwa Nabi SAW. bersabda:

فاتقوا الله فىالنساء فإنكم أخذتموهن بأمان الله واستحللتم فروجهن بكلمةالله ولكم عليهن ان لايوطئن فرشكم احدا يكرهونه فإن فعلن ذالك فضربوهن ضربا غير مبرح ولهن عليكم رزقهن وكسوتهن بالمعروف[47]

Dan juga riwAyat Abu Dawud dari Hakim bin Mu’awiyah dari ayahnya yang pernah bertanya kepada Nabi SAW;

 قلت يارسول الله ما حق زوجة احدنا عليه؟ قال: أن تطعمها إذا طعمت وتكسوها إذا اكتسيت ولا تظرب الوجه ولا تقبح ولا تجهر الا فىالبيت[48]

Dari kedua riwAyat hadis tersebut, menunjukkan bahwa Rasulullah SAW. menyamamaratakan seluruh wanita dan tidak menghususkan orang yang nusyuz dengan lainya, begitu pula wanita yang masih kecil atau pula yang sudah besar. Adapun pendapat sebagian yang menyatakan tidak ada nafkah bagi isteri yan tidak mau diajak serumah dengan suami, menurut Ibn Hazm, pendapat itu tidak ada dasarnya baik dalam al-Qur'an, as-Sunnah, qaul Sahabat, qiyas maupun ra'yu. Jika ada pengecualian kepad isteri yang nusyuz atau masih kecil maka Allah tidak akan lupa menjelaskanya.[49]

Ibn Hazm tidak mengetahui alasan Fuqaha' yang berpendapat bahwa isteri yang nusyuz tercegah (gugur) hak nafkahnya. Hanya ada satu riwAyat yaitu dari Nakhai, as-Sya'bi, Humad bin Abi Sulaiman, al-Hasan dan az-Zuhri, tetapi Ibn Hazm tidak mengetahui alasan mereka secara jelas, hanya saja mereka menyatakan;

النفقة بإزاء الجماع فإذا منعت الجماع منعت الفقة[50]

Fuqaha' yang berpendapat demikian diantaranya adalah Imam Hanafi. Dalam mengomentari pendapat ini, Ibn Hazm berkata bahwa yang berpandangan demikian, maka berarti mereka telah berdusta, karena nafkah dan kiswah merupakan kewajiban apabila telah terjadi hubungan suami-isteri. Hal ini diungkapkannya dalam al-Muhalla;

وهذه حجة أفقر الىمايصحها مما راموا تصحيحهابه وقدكذبوا فى ذالك مالنفقة وكسوة إلا بإزاء الزوجية فإذا وجدت الزوجية فالنفقة والكسوة واجبتان[51]

Imam Syafi'i berpendapat bahwa isteri yang keluar dari rumah tanpa izin suaminya maka nafkahnya menjadi gugur. Dalam hal ni Ibn Hazm berargumen sebagai berikut;

ومن طريق شعبة سألت الحكم ابن عتيبة عن امرأة خرجت من بيت زوجها غاضبة هل لها نفقة ؟ قال:نعم[52]

Dan tentang isteri yang nusyuz, telah dijelaskan di dalam al-Qur'an surat an-Nisa' Ayat 34. berdasarkan Ayat tersebut Ibn Hazm mengatakan bahwa;

Allah telah menghabarkan atau memberitahu bahwasanya tidaklah kepada isteri yang nusyuz itu kecuali hijr dan pemukulan dan Allah tidak menggugurkan nafkah dan kiswah. Maka kamu sekalian telah menyiksanya dengan mencegah haknya, dan hal tersebut telah disyariatkan dalam agama bahwa tidak diizinkan berbuat begitu (menggugurkan nafkah dan kiswah) karena hal tersebut adalah batil.[53]

Sebenarnya, persoalan pencegahan hak nafkah bagi isteri yang nusyuz itu erat kaitannya dengan konsep patuh dan taatnya seorang isteri itu sendiri. Dan dalam aplikasinya istilah kepatuhan ataupun ketaatan adalah 'urf, dan tidak diragukan sedikit pun bahwa menurut 'urf, seorang isteri disebut taat dan patuh manakala tidak menolak bila suaminya meminta dirinya untuk digauli. Mereka tidak menawarkan bahwa si isteri harus menawarkan dirinya siang dan malam. Tapi bagaimana pun, di sini terdapat beberapa masalah yang berkaitan dengan persoalan nusyuz dan taat.[54] Bahkan hal itu pun seiring dengan perubahan zaman dan kedewasaan masarakat akan mengalami perubahan pula.

Batasan-Batasan Hak Suami Dalam Memperlakukan Istri Nusyuz. Disinilah letak pentingya pengkategorian mengenai bentuk-bentuk perbuatan nusyuz secara kualitatif, kuantitatif serta kemungkinan hal yang melatar belakanginya, agar dalam menyikapinya pun dapat secara proporsional. Seperti contoh, sangat tidak adil jika seorang isteri yang hanya bermuka masam ketika suaminya pulang kerja larut malam dianggap nusyuz kemudian tidak dikasih uang untuk belanja pada esok harinya. Dan seperti contoh perbuatan-perbuatan nusyuz ringan yang lainnya.

    Hak Talak

Al-Qur'an tidak memberi suatu ketentuan yang mengharuskan suami untuk mengemukakan sesuatu alasan untuk mempergunakan haknya menjatuhkan talak kepada isterinya. Namun biasanya suatu alasan yang dikemukakan suami untuk menjatukan talak kepada isterinya adalah bahwa ia merasa sudah tidak senang lagi kepada isterinya. Alasan ketidaksenangan suami ini sangan subyektif, yang dapat disebabkan oleh hal-hal yang subyektif pula.[55]

Sistem hukum yang ada di negara kita pada dasarnya menganut asas mempersulit dalam masalah cerai. Hal ini dapat kita baca sebagaimana yang tertera dalam Pasal 39 Ayat (1) Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 jo, Pasal 14 s.d. 18 peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang menentukan, bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, dan untuk melakukan perceraian itu harus ada cukup alasan, bahwa antara suami-isteri itu tidak dapat hidup rukun sebagai suami-isteri. Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah sebagaimana tersebut dalam penjelasan Pasal 39 Ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.[56]

Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), berkenaan dengan alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan perceraian dijelaskan dalam secara terinci sebagai berikut;[57]

a.         Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b.         Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun secara berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

c.         Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d.        Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

e.         Salah satu pihak mendapat cacad badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.

f.          Antara suami-isteri terus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

g.         Suami melanggar taklik-talak.

h.         Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Talak adalah suatu perbuatan hukum dari seorang suami yang dilakukan kepada isterinya, yang mana dapat membawa akibat yang sangat luas bagi seseorang dan keluarganya, bisa mengubah corak kehidupan kekeluargaan menjadi lebih baik atau bisa menjadi lebih buruk. Karena itu Islam mensyari'atkan bahwa suami yang menjatuhkan talak itu harus memenuhi syarat-syarat, yaitu diantaranya: "sudah dewasa, berpikiran sehat, mempunyai kehendak bebas dan masih mempunyai hak talak.

Sebagai salah satu contoh talaknya orang yang dalam keadaan marah atau emosi, maka talaknya tersebut secara hukum tidak jatuh. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi;

لاطلاق ولاعتاق فى اغلاق[58]

Bila hal ini ditinjau lebih jauh lagi dengan mengkaitkannya pada persoalan nusyuz maka penjatuhan talak kepada isteri yang nusyuz patut diduga sebagai suatu keputusan yang mengandung cacat hukum karena dijatuhkan pada saat kondisi psikologis suami yang tidak stabil dan kondusif. Hal ini juga menghindari adanya kemungkinan pertimbangan-pertimbangan pendek yang temporal yang dapat mendorong kearah keputusan yang emosional dan kondisi sesaat yang menekan mereka.

Oleh karena itu dengan pertimbangan kemaslahatan dan kemudlaratan berkenaan dengan sebab musabab, hukum talak atau kedudukan talak berkutat dalam wilayah al-Ahkam al-khamsah. Karena itu hukum talak beredar antara wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Dan dapat dijelaskan sebagai berikut;

a. wajib, yaitu: “talak hakamain (juru damai) dalam hal syiqaq (perselisihan hebat antara suami-isteri), karena juru damai memandang bahwa talak itulah satu-satunya jalan untuk menghentikan syiqaq mereka”.[59]

b.   Sunat, yaitu: “talak dengan sebab buruknya akhlak isteri dan tabi'atnya dan tidak menjaga kehormatannya”.[60]

c.       Mubah, yaitu; talak ketika ada hajat karena kedua suami-isteri telah sepakat untuk bercerai, mungkin mereka merasa sudah tidak dapat lagi melanjutkan kehidupan perkawinan mereka lagi.[61]

d.      Makruh, yaitu; “menjatuhkan talak dengan tidak ada sebab yang berhajat pada cerai”.[62]

e.       Haram, “apabila menjatuhkan talak ketika isteri dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci yang telah dicampuri”.[63] Atau menjatuhjkan talak kepada isteri tanpa ada sebab apa-apa, karena tindakan tersebut menyakiti isteri dan tidak patut.[64]

Dalam ketentuan perundang-undangan perkawinan di Indonesia sendiri hak talak tidaklah merupakan monopoli pihak laki-laki saja, sebab perempuan juga memiliki hak yang sama dalam hal ini walaupun dengan penggunaan istilah yang berbeda. Hal ini dapat ditemukan dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yang menyatakan, “masing-masing pihak (suami-isteri) berhak untuk melakukan perbuatan hukum”.[65] Dan dalam Pasal selanjutnya dijelaskan, “jika suami-isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan”.[66] Begitu pula dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan bahasa redaksi yang sama dalam Pasal 77 Ayat (5).

Sebagai catatan penting dalam masalah hak suami menjatuhan talak kepada isteri yang nusyuz, bahwasanya talak atau perceraian itu hendaknya hanya dilakukan sebagai tindakan yang terahir setelah ikhtiar dan segala daya upaya yang telah dilakukan guna perbaikan kehidupan perkawinan dan jika tidak ada jalan lain lagi kecuali perceraian suami-isteri. Atau dengan perkataan lain bahwa perceraian itu adalah way out pintu darurat bagi suami-isteri demi kebahagiaan yang dapat diharapkan setelah perceraian itu. Hal ini tentu saja dengan pertimbangan bahwa melakukan talak merupan sesuatu yang dibenci oleh Allah, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi;

وأبغض الحلال الى الله عزوجل الطلاق[67]

       Sungguh sangat tidak rasional dan terlalu gegabah jika permasalahan yang timbul dalam keluarga hanya diselesaikan dengan perceraian begitu saja, padahal masih ada seribu satu jalan keluar dan selalu masih ada harapan besar untuk kembali merajut beneng-benang yang terlanjur kusut dalam rumah tangga.

[1] Imam Abi AL-Fida' Al-Hafiz Ibn Kasir, Tafsir., I: 466.

[2] Saleh bin Ganim as-Saldani, Nusyuz, hlm. 46.

[3] Muhammad Usman al-Khasit, Sulitnya Berumah Tangga: Upaya Mengatasinya Menurut al-Qur'an dan Hadis, ilmu Pengetahuan, alih bahasa A. Aziz  Salim Basyarahil, (Jakarta: GIP, 1994), hlm. 78.

[4] Muh. Yusuf Asy-Syahir, Tafsir, II: 251.

[5] Abi Bakr Ahmad ibn 'Ali Razi Al-Jassas, Ahkam Al-Qur'an, (Bairut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1415 H/1993 M.), II: 238.

[6] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Gazzali, Ihya’ Ulum ad-Din, (Beirut: Dar al-Kitab al-Islami, t.t.), II: 15.

[7] An-Nisa’ (4): 35.

[8] Khoiruddin Nasution, Islam., hlm. 52.

[9] Ibid., hlm. 60.

[10] Saleh bin Ganim as-Sadlani, Nusyuz, alih bahasa A. Syauqi Qadri, cet. I (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hlm. 25.

[11] Muhammad 'Ali as-Sabuni, Rawaiul Bayan., hlm. 367.

[12] Ibid.

[13] Ibid.

[14] an-Nawawi, Sahih Muslim bi Syarh an-Nawawi, (ttp. Dar al-Fikr, 1981 M/1401 H),  XVI: 117-118.

[15] Illa' adalah marahnya suami terhadap isteri sampai mengeluarkan sumpah untuk tidak mencampurinya (mengaulinya). Lihat, Muh. Rasyid Rida, jawaban Islam terhadap seputar keberadaan wanita, alih bahasa Abd. Haris Rifa'i, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1993), hlm. 53.

[16] Al-Baqarah (2): 226.

[17] Saleh bin Ganim, Nusyuz, hlm. 52.

[18] Masdar Farid Mas’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, cet. I, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 165.

[19] Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, V: 72.

[20] A. Rahmat Rasyadi, Islam; Problem Seks Kehamilan dan Melahirkan, cet. X, (Bandung: Angkasa, 1993), hlm. 16.

[21] Al-Baqarah (2): 228.

[22] An-Nisa’ (4): 32.

[23] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami., Juz IX, hlm. 6599.

[24] Al-Syirazi, al-Fiqh ‘ala Mazahib al-‘Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), II: 65.

[25] Saleh bin Ganim, Nusyuz, hlm. 57.

[26] Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf., I: 524.

[27] Abu 'Isa Muhammad bin 'Isa bin Surah, Al-Jami' as-Sahih wa Huwa Sunan al-Tirmiz\i, (Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, t.t.), III: 467. Hadis ini juga diriwAyatkan oleh ibn Majah dalam Sunan ibn Majah, "Kitab an-Nikah", "Bab al-Mar'ah 'ala az-Zawj", hadis 1851.

[28] S{ad (38): 44.

[29] Nabi Ayyub a.s. menderita penyakit kulit beberapa waktu lamanya dan dia memohon pertolongan kepada Allah SWT. Allah memperkenankan doanya dan memperkenankan agar dia menghentakkan kakinya ke bumi. Ayyub a.s. mentaati perintah itu maka keluarlah air dari bekas kakinya atas petunjuk Allah, Ayyub a.s. pun mandi dan minum dari air itu, sehingga sembuhlah dia dari penyakitnya dan dia dapat berkumpul kembali bersama keluarganya. Maka mereka kemudian berkembang biak sampai jumlah mereka dua kali lipat dari jumlah sebelumnya. Pada suatu ketika, Ayyub a.s. teringat atas sumpahnya, bahwa dia akan memukul isterinya bilamana sakitnya sembuh disebabkan isterinya pernah lalai mengurusinya sewaktu dia masih sakit. Akan tetapi tumbuh dalam hatinya rasa ibah dan sayang kepada isterinya sehingga dia tidak dapat memenuhi sumpahnya. Oleh sebab itu turunlah perintah Allah seperti yang tercantum dalam Ayat 44 di atas, agar dia dapat melaksanakan sumpahnya dengan tidak menyakiti isterinya yaitu memukulnya dengan seikat rumput.

[30] Muhammad 'Ali as-Sabuni, Rawaiul Bayan, II: 350.

[31] Muhammad Usman al-Khasit, Sulitnya Berumah Tangga., hlm. 81.

[32] Ensiklopedi Hukum Islam, hlm.1355.

[33] Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, V: 75.

[34] Ibid.

[35] Ibid., V: 74-75.

[36] Asghar Ali Enggineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, alih bahasa Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1994), hlm. 76.

[37] Ibid., hlm. 72.

[38] Ibd.

[39] Amina Wadud, Qur'an dan Perempuan, (Jakarta: Serambi, 2000), hlm. 21.

[40] Imam Taqiy ad-Din Abi Bakr ibn Muhammad al-Husaini ad-Dimasqi asy-Syafi’i, Kifayat al-Akhyar, (Semarang: Toha Putra, t.t.), II: 77.

[41] Muhammad bin Abdurrahman, Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al-Aimmah, (Surabaya: al-Hidayah, t.t.), hlm. 248.

[42] As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, II: 279.

[43] Jawad Mugniyyah, Fiqh Lima Madzab, hlm. 76.

[44] Muhammad Yusuf  Musa, Ahkam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah al-Islamiy, hlm. 27.

[45] Humaidi Tatapangarsa, Hak dan Kewajiban Suami-isteri Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1993), hlm. 33.

[46] Abu Muhammad 'Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm, al-Muhalla, (Damaskus: Dar al-Fikr, tt.), X: 88.

[47] Muslim, Sahih Muslim, "Kitab al-Hajj", "Bab Hijjah 'an-Nabi SAW., (Bairut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, t.t.), II: 512. diriwAyatkan dari Jabir bin Abdullah.

[48] Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, "Kitab an-Nikah", "Bab fi Haq al-Mar'ah 'ala Zawjiha", (Bairut: Dar al-Fikr, 1994), II: 212, hadis nomor 2142. diriwAyatkan dari Hakim bin Mu'awiyah al-Qusyairiy dari ayahnya.

[49] Ibn Hazm, al-Muhalla., X: 88.

[50] Ibid., hlm. 89.

[51] Ibid.

[52] Ibid.

[53] Ibid.

[54] Jawad Mugniyah, Fiqh Lima Madzab, hlm. 402.

[55] M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, cet. II, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981), hlm. 43.

[56] Ibid., hlm. 43.

[57] KHI, Pasal 116.

[58] Abu Dawud, Sunan abi Dawud, “Kitab at-T{alak”, “Bab at-T{alak ‘Ala Ghalat”, II: 231, hadis nomor 2193. diriwAyatkan dari Sayfiyyah binti Syaibah dari Aisyah.

[59] Asy-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, hlm. 345.       

[60] Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh 'Ala al-Maz\ahib al-Arba'ah, (Beirut Dar al-Fikr, t.t.),, IV: 293.

[61] As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, hlm. 297.

[62] Ibid., hlm. 345.

[63] Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Jakarta:Wijaya, 1954), hlm. 356.

[64] Abdurrahman al-Jaziri, Kitab aL-Fiqh ‘Ala al-Maz\ahib., hlm. 297.

[65] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 31 Ayat (1).

[66] Ibid., Pasal 34 Ayat (3).

[67] Abi Dawud, Sunan Abi Dawud, “Kitab at-Talak”, “Bab fi Karahiyati al-Talak”, hlm. 226, hadis nomor 2178.  diriwAyatkan dari MuhaBBrib bin Dis\ar dari Ibnu Umar.


Responses

1 Respones to "Batasan-Batasan Hak Suami Dalam Memperlakukan Istri Nusyuz"

Obat Herbal Fistula Ani said...

postingan yang menarik dan sngat bermanfaat
terimakasih telah berbagi informasi
http://obatherbaldisentriakut33.wordpress.com/
http://obatherbalfistulaanipalingampuh33.wordpress.com/
http://obatherbalispatradisional33.wordpress.com/
http://suplemenkesehatankulitglowenhanz.wordpress.com/
http://obatherbalkankerhati011.wordpress.com/
http://obatherbaluntukkankerkandungkemih33.wordpress.com/
http://obatherbaltulangkeroposampuh.wordpress.com/
http://obatherbalamandelkronistanpaoperasi33.wordpress.com/
http://obatherbalvertigoakut33.wordpress.com/
http://obatherbalglaukomakronistanpaoperasi33.wordpress.com/
http://obatherbaluntukpenyakitvarises33.wordpress.com/
http://obatherbaluntukkankerusushalus33.blogspot.com/
http://obatherbalsipiliskronis33.wordpress.com/
http://obatherbalalzheimerpalingampuh33.wordpress.com/
http://obatherbalepilepsiakut33.wordpress.com/
http://obatherbalpascastrokeberat33.wordpress.com/
http://obatherbaluntukmeningitis33.wordpress.com/
http://obatherbalkankerpankreas011.wordpress.com/
http://obatherbaluntukfaringitis33.blogspot.com/


4 February 2015 at 11:54

Post a Comment

 

Return to top of page Copyright © 2010 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by HackTutors