Tipologi Pemikiran Relasi Islam dan Negara
Islam di Indonesia dewasa ini tidak lepas dari dinamika pemikiran dan gerakan pembaharuan, di antaranya dipengaruhi ide-ide pembaharuan Abduh yang dianggap rasional-liberal, dan kemudian di Indonesia berpadu dengan faham Wahabiyyah yang skriptural-formal.[1] Di sisi lain, masih terdapat kuatnya madzhab yang dilestarikan oleh para kyai melalui pesantren, yang dianggap sebagai basis kelompok tradisionalis Islam. Dengan adanya dialektika modernis versus tradisionalis inilah yang akhirnya melahirkan pemikiran neo-modernisme Islam Indonesia.
Sebelum membahas lebih jauh, penyusun ingin mempertegas antara Islam dan pemikiran Islam. Menurut Moslem Abdurrahman “Islam” adalah wahyu, sedangkan “pemikiran Islam” adalah kebenaran subjektif yang dihasilkan dari penangkapan seseorang terhadap pesan obyektif Tuhan.[2] Sebagai kebenaran subjektif pemikiran Islam bisa berubah-rubah sesuai dengan konteks dan perkembangan pemahaman seseorang tersebut terhadap pesan Tuhan. Oleh sebab itu untuk memamahami tokoh pemikir Islam harus diletakkan pada kerangka Ijtihad.
Suatu hal yang wajar sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia wacana relasi Islam dan negara mendapatkan komentar, kritik dan debat yang tajam karena masalah ini termasuk kategori Ijtiha>d seseorang dalam memahami teks Tuhan.
Tipologi Pemikiran Relasi Islam dan Negara. Pada tahun 1940-an sampai 1990-an sering terjadi perdebatan hangat mengenai masalah tersebut, Seperti yang penyusun bahas sebelumnya. Padahal perdebatan ini sudah pernah menemukan titik temunya, yaitu dalam konsep “Piagam Jakarta”, yang kemudian dianulir sehari setelah kemerdekaan. Upaya penyelesaian masalah tersebut pada sidang konstituante kandas di tengah jalan karena dipotong oleh Soekarno melalui Dekrit 1959. Demikian pula yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru, yang sengaja menutupi kemungkinan-kemungkinan pembicaraan mengenai persoalan tersebut.
Diawali perdebatan antara Natsir dan Soekarno, akhirnya Islam mencari jalannya sendiri dalam kehidupan sosial politiknya dengan cara yang bisa dibilang formalistik, agar kehadirannya tidak hanya dirasakan tapi juga diakui. Dalam pandangan umum, langkah-langkah ini telah menempatkan Islam dalam posisi antagonistik vis-a-vis negara dengan seluruh implikasinya.[3]
Akhirnya, situasi inilah yang mendorong pemikir Islam Indonesia generasi kedua (sejak tahun 1970-an), yang kemudian sering disebut sebagai kelompok “Islam kultural”. Dalam pandangan ini Islam politik merupakan sesuatu yang sulit untuk dijual karena trauma politik yang membekas para aktivis politik saat itu, baik dari pihak Islam politik maupun negara. Untuk itu generasi kedua ini tidak menginginkan Islam dijadikan sebuah ideologi, dengan memfokuskan pada bidang garapan “transformasi sosial” yang disesuaikan dengan kebutuhan tertentu. Di antaranya pandangan dasar Nurcholish Madjid yang mengemukakan desakralisasi; Abdurrahman Wahid dengan gagasan Pribumisasi Islam,[4] Dawam Rahardjo yang menggeluti Masyarakat pedesaan melalui pesantren; dan Munawir Sjadzali yang menyatakan perlunya melihat Islam dalam konteks Indonesia.[5]
Tipologi Pemikiran Relasi Islam dan Negara. Sebenarnya kalau dilihat dari aspek politik, aktivitas Islam kultural dan Islam politik mempunyai persamaan, karena kalangan inilah yang meletakkan dasar-dasar kehidupan politik yang demokratis, dengan menonjolkan aspek-aspek keadilan, musyawarah, dan egalitarianisme yang disesuaikan dengan spirit Islam. Lebih spesifik dalam pembahasan ini, Munawir Sjadzali mengklasifikasikan relasi Islam dan negara menjadi tiga kategori.
Pertama, aliran konservatif, yang berpendapat Islam adalah agama yang sempurna dalam mengatur aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara, oleh sebab itu tidak ada alasan memisahkan keduanya. Di antara para tokoh aliran ini ialah Rasyid Ridha dan Al-Maududi. Kedua, aliran modernis, yang berpendapat bahwa Islam tidak mempunyai sistem negara yang detail tetapi di dalamnya terdapat nilai etika kehidupan bernegara. Tokoh yang terkemuka yaitu M. Husein Haikal. Ketiga, aliran sekuler, Islam tidak ada hubunganya dengan negara karena menurut aliran ini Muhammad tidak pernah mengepalai dan mendirikan negara. Tokoh utama aliran ini ialah Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein[6]
Akan tetapi dalam tipologi ini, penyusun akan mengkaji pada kategori kedua, yakni aliran Modernis, yang kemudian penyusun klasifikasikan kembali menjadi dua aliran: modernis dan neo-modernis. Pemetaan ini didasarkan pada analisa pemikiran yang telah bekembang, bahwa pemikiran politik Islam di Indonesia memang tidak lepas dari hubungan dialektis antara aliran tradisionalis dan modernis,[7] yang akhirnya melahirkan neo-modernisme tersebut.
Dalam pandangan politik Islam, kelompok modernis biasanya menggunakan pendekatan struktural yang dapat juga disebut sebagai kaum idealis, sementara kelompok neo-modernis menggunakan pendekatan kultural yang biasa disebut kaum realistis atau akomodasionis.[8]
1. Perspektif Modernisme.
Pemikiran modernisme Islam sudah dimulai sejak abad ke 20-an sebelum Indonesia merdeka. Pada tahun 1912 didirikan sarekat Islam, yakni sebuah organisasi politik Islam modern pertama kali di Indonesia yang didasarkan pada sebuah prinsip antipenjajahan.[9] Di bawah pengaruh modernisme Islam, nilai-nilai demokrasi menjadi suatu yang lazim di kalangan intelektual muslim prakemerdekaan.[10]
Tipologi Pemikiran Relasi Islam dan Negara. Menurut Mukti Ali, munculnya Modernisme karena didorong kesadaran akan kemunduran umat Islam yang disebabkan telah meninggalkan sumber ajaran al-Qur’an yang asli, Oleh sebab itu kalangan modernisme seringkali menyerukan umat Islam untuk “kembali kepada al-Qur’an dan sunnah secara murni”.[11] Sebagai reaksi terhadap Barat, wajar apabila kalangan modernisme mengagendakan sebuah apologia melalui “ideologisasi Islam” bahwa Islam adalah agama yang Ka>ffah.
Dalam konteks pembahasan, perspektif ini dihadapkan penyusun pada pemikiran M. Natsir. Tokoh ini dikategorikan dalam perspektif modernis karena gagasannya yang rasional-fundamental, penulis katakan rasional-fundamental karena satu sisi Natsir mengakui bahwa di dalam Islam juga mengandung unsur-unsur demokrasi, dalam artian demokrasi adalah sistem pemerintahan yang bermanfaat bagi rakyat atau dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat,[12] sisi fundamentalnya, M. Natsir bersikap keras meletakkan Islam sebagai dasar negara, dengan tujuan supaya ajaran Islam bisa laksanakan secara utuh dan konsekuen dalam kehidupan bernegara.[13]
Ide-ide pemikiran modernisme tentang Islam dan negara cenderung bercirikan konservatif, liberal dan demokratis sosial.[14] Di Indonesia sendiri menurut Dawam Rahardjo ciri yang menonjol dari kalangan modernisme adalah “apologik”, pemurnian dan “skripturalistik”,[15] sedangkan dalam pandangan Liddle istilah modernisme dalam politik mempunyai dua corak, pertama, “skripturalistis”-yang masih menginginkan bentuk negara Islam dan berlakunya undang-undang Islam; kedua, “substansialis”-kelompok ini lebih mengedepankan pada isi daripada bentuk.[16]
Tipologi Pemikiran Relasi Islam dan Negara. Untuk memperjelas pada pembahasan lebih lanjut, perlu penyusun tegaskan bahwa yang dimaksud modernisme di sini adalah aliran pemikiran yang selalu mengidealkan pemerintahan Islam, dengan tetap menerima sistem Barat asalkan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Sebenarnya secara genetik kelompok ini sudah ada sebelum Orde Baru lahir, yaitu Masyumi dan Muhammadiyah.[17] Kedua organisasi ini mempunyai pemikiran yang sama dalam memandang konsep negara, menurut tokoh-tokoh modernis, Islam dan negara mempunyai hubungan integral, tetapi bukan berarti menolak sistem Barat secara totalitas. Karena menurut M. Natsir sendiri Islam memang tidak mempunyai sistem ketatanegaraan yang sempurna, maka dari itu apabila negara Islam nanti didirikan boleh mengadopsi sistem Barat asal tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.[18]
Pada intinya aliran modernisme semacam ini mendukung negara Islam secara ideologis, karena baginya secara tekstual, al-Qur’an dan Sunnah telah menunjukkan perangkat dasar negara yang dapat diterapkan di zamannya.[19] Selain itu, masih ada alasan-alasan lain yang akan dibahas dalam bab selanjutnya, mengapa tokoh modernisme seperti M. Natsir ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Untuk lebih lengkapnya akan penyusun bahas dalam bab selanjutnya.
2. Perspektif Neo-Modernisme.
Pola pemikiran neo-modernisme sangat identik dengan Fazlur Rahman, menurutnya meskipun di era modern pemikiran modernisme memberikan sumbangan positif terhadap kebangkitan Islam, tetapi aliran ini masih menunjukkan kelemahan-kelemahan tertentu, di antaranya adalah kurangnya metodologi dalam menafsirkan al-Qur’an dan Sunnah, dan terlalu apriori terhadap kekayaan potensi pemikiran Islam tradisional.[20]
Lebih lanjut, Nurcholis Madjid menyatakan bahwa meninggalkan tradisi lama akan menimbulkan jump to conslusion (kesimpulan yang melompat), artinya mengambil pokoknya saja tanpa memahami latar belakangnya,[21] dengan meminjam istilah H.A.R. Gibb, dia mengkritik kaum modernisme Islam bahwa kalangan ini menurutnya, akan terancam intellectual impoverisment (pemiskinan intelektual), karena pemikiran-pemikirannya seringkali terjebak pada proses pengambilalihan konsep-konsep Barat. Oleh sebab itu kaum neo-modernisme menggunakan kaidah Islam klasik berikut ini, [22] sebagai prinsip pengembangan pemikirannya. Yaitu:
المحافظـﺔ على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح !
Neo-Modernisme adalah aliran pemikiran yang melakukan usaha-usaha untuk menemukan titik temu antara kaum Islam tradisionalis dengan kaum Islam modernis.[23] Di Indonesia sendiri gagasan neo-modernisme Islam dimulai sejak tahun 1970-an, sebagai pemikiran generasi kedua setelah modernisme yang mengarah pada Islam politik, kemudian pada tahun 1980-an generasi kedua ini dikenal dengan sebutan Islam kultural.[24]
Menurut Greg Barton, ada lima ciri yang menonjol dari aliran neo modernisme. Pertama, neo modernisme adalah gerakan pemikiran progresif yang mempunyai sikap positif terhadap modernitas, perubahan dan pembangunan. Kedua, aliran ini sangat berbeda dengan fundamentalisme yang menganggap Barat sebagai ancaman bagi umat Islam. Neo-modernis justru membela ide-ide liberal Barat, tetapi juga mengajukan argumentasi bahwa Islam juga mempunyai kepedulian yang sama terhadap ide-ide Barat seperti demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Ketiga, neo-modernisme Islam mengarfimasi semangat sekularisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena menurutnya al-Qur’an dan Sunnah tidak pernah menyuruh mendirikan negara Islam. Keempat, neo-modernisme sangat mengedepankan pemahaman Islam yang terbuka, inklusif dan liberal, khususnya dalam merespon pluralisme masyarakat. Kelima, neo-modernisme selalu berijtihad dalam membuat sintesis antara khazanah pemikiran Islam tradisional dengan gagasan-gagasan Barat mengenai ilmu-ilmu sosial dan humoniora.[25]
Banyak penulis yang mengkategorikan tokoh-tokoh muslim Indonesia, seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Dawam Rahardjo, dan Munawir Sjadzali masuk dalam aliran ini, di antaranya.[26] Dalam pembahasan ini, corak pemikiran neo-modernisme akan penyusun hadapkan dengan pemikiran Abdurrahman Wahid, ia seorang neo-modernis yang latar belakang sosialnya berasal dari golongan tradisionalis, meskipun Abdurrahman Wahid sangat kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah di tahun 1990-an, tetapi dia tergolong akomodasionis terhadap sistem sosial yang berlaku di Indonesia.[27]
Dalam memandang relasi Islam dan negara, kalangan ini lebih suka menggunakan pendekatan kultural, yakni dengan memerankan Islam sebagai “faktor komplementer” untuk mengembangkan sosio-ekonomi, politik, dan moralitas bangsa. Di antara kalangan neo-modernis yang paling utama mendukung pendekatan kultural ini adalah Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid, meskipun mereka tidak sepenuhnya sama dalam berpendapat, tetapi mereka menyadari bahwa secara historis ekspresi Islam ideologis tidak pernah berhasil.[28]
Selain itu, menurut Abdurrahman Wahid kalau Islam di Indonesia dijadikan faktor alternatif, yakni diideologikan, maka fungsinya bisa terdistorsi karena yang muncul bukanlah struktur yang lebih baik melainkan konflik horizontal dan ancaman disintegrasi bangsa,[29] hal yang senada diungkapkan oleh Nurcholish Madjid bahwa Islam bukanlah sebuah ideologi, sebab pendapat Islam sebagai ideologi hanya akan menyamakan agama itu setaraf dengan ideologi-ideologi yang ada di dunia.[30]
Meskipun demikian, bukan berarti pemikir neo-modernisme ini mengabaikan aspek agama dalam politik, karena dalam pemikirannya selalu mempertimbangkan aspek fiqih. Hal ini terlihat dalam pemikiran Abdurrahman Wahid yang mengajukan dalil agar kebijaksanaan pemerintah harus senantiasa disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan fiqih, dalam kaidah fiqihnya "Tas}araf al Ima>m manu>t}un bi al-Mas}lahah" (kebijaksanaan kepala pemerintah harus mengikuti kesejahteraan rakyat)”.[31]
Pokok pikiran kedua aliran ini, baik modernisme maupun neo-modernisme dalam memandang agama dan negara sudah tentu berbeda, karena secara teoritis dalam konteks agama dan negara kedua pemikiran tersebut memang terbagi dua, yakni idealistik dan realistik. Dalam kerangka pemikiran idealistik dirumuskan sebuah sistem negara yang sepenuhnya berdasarkan wawasan Islam. Kelompok inilah yang kemudian menggunakan Islam sebagai “tawaran alternatif” dan selanjutnya penyusun kategorikan dalam “kelompok modernis”. Sementara pemikiran realistik lebih tertarik menempatkan Islam sebagai “faktor komplementer”, yang menekankan pada substansi bukan sebuah bentuk formal, [32] dan kemudian penyusun kategorikan sebagai kelompok neo-modernisme.
Sebenarnya kedua kelompok di atas sama-sama menyadari bahwa di dalam al-Qur’an maupun Sunnah memang tidak ada yang menyatakan untuk mendirikan negara Islam, akan tetapi dalam aksi politiknya masing-masing berbeda. Kelompok modernis lebih suka menggunakan pendekatan Islam politik dalam kehidupan bernegara, karena untuk memberlakukan syari’ah pasti membutuhkan kekuatan politik dan yang memiliki kekuatan itu adalah negara, sedangkan negara dalam pandangan mereka adalah penjaga syari’ah.[33] Sementara generasi kedua, neo-modernisme tidak tertarik dengan pendekatan Islam politik tetapi lebih pada Islam kultural, yang menempatkan syari’ah sebagai tata nilai masyarkat dalam kehidupan bernegara, karena pada dasarnya agama adalah urusan pribadi yang tidak bisa diintervensi siapapun.
Dari uraian di atas, bisa dimengerti mengapa persoalan agama dan negara di Indonesia selalu menjadi pembicaraan hangat di kalangan intelektual muslim kita. Ini tidak lain karena pengaruh geneologi pemikiran yang melatarbelakangi keduanya, baik itu faktor organisasi ataupun studi yang dijalaninya.
[1] Moslem Abdurrahman, Islam Transformatif, cet. ke-2 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 66.
[2] Ibid., hlm. 67.
[3] Bahtiar Effendy, (RE) Politisasi Islam, Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?, cet. ke-1 (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 191.
[4] Yang dimaksud Pribumisasi Islam adalah bagaimana mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri. Jadi bukan meninggalkan norma demi budaya, akan tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan budaya dengan mempergunakan pemahaman nash, yaitu fiqih dan qaidah fiqih. Lihat Abdurrahman Wahid, “Pribumisasi Islam” dalam Islam Indonesia Menatap Masa Depan, (Jakarta: P3M, 1989), hlm. 83.
[5] Bahtiar Effendy, (RE) Politisasi Islam, hlm. 191.
[6] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 1-2.
[7] Untuk lebih lengkapnya baca, Moslem Abdurrahman, Menyimak Pemikiran Islam, dalam karyannya, Islam Transformatif, hlm.62-114.
[8] Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan, hlm. 227.
[9] Anders Uhlin, alih Bahasa Rofik Suhud, Oposisi Berserak, Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, cet. ke-2 (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 32
[10] Deliar Noer, Pengantar ke pemikiran politik, (Jakarta: CV. Rajawali, 1983), hlm. 215-216.
[11] Dikutip dari, Moslem Abdurrahman, Islam Transformatif, hlm. 28.
[12] Moh. Mahfud MD, Konfigurasi Politik dan Hukum pada Era Orde Lama Dan Orde Baru, dalam, M. AS. Hikam,dkk., Wacana Politik Hukum dan Demokrasi Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1999), hlm. 20.
[13] Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 98.
[14] Bahtiar Effendy dan Fachry Ali, Merambah Jalan Baru Islam, (Bandung: Mizan, 1986), hlm. 171. Baca juga, Anders Uhlin, Oposisi Berserak, hlm. 77.
[15] M. Dawam Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Prilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim.(Bandung:Mizan, 1993), hlm. 284. lihat juga, M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, hlm. 211.
[16] Dikutip dari, M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, hlm. 211, lihat karya asli William Liddle, Media Dakwah Scripturalism: One Form of Islamic Political Thought and Action in New Order Indonesia. kertas kerja belum diterbitkan.
[17] Ibid.
[18] Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 70-72.
[19] Ibid., hlm. 73.
[20] Dikutip dari, Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan, hlm. 12.
[21] Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 178.
[22] Ibid.
[23] Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan, hlm. 11.
[24] Bahtiar Effendy, (RE) Politisasi Islam, hlm. 191.
[25] Dikutip dari, Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 122.
[26] Bahtiar Effendy, (RE) Politisasi Islam, hlm. 191.
[27] Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan, hlm. 18.
[28] Ibid., hlm. 239.
[29] Dedy Djamaluddin M, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 77. baca juga, Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 116.
[30] Dedy Djamaluddin M, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 169.
[31] Ibid., hlm. 170.
[32] Ibid.
[33] Amien Rais, Cakrawala Islam, (Bandung: Mizan, 1987), hlm. 41.